SEPUCUK KERINDUAN UNTUK PACARKU
CERPEN Bagus Setyoko Purwo
Suatu kerinduan akan tetap terjaga dalam
kehangatan tungku di dada. Persis kerinduan yang saat ini membara dihatiku.
Kerinduan itu menjelma menjadi relung waktu yang kerap kali membangungkan
kenyenyakanku di pukul 4.00 dini hari.
Rupanya
semalam membiuskan kelelahan yang menjalar ke sendi-sendi tubuhku. Sehari penuh
keringat menebus pori-pori badan. Matahari dengan pijaran yang menyala-nyala
menyulut ke punggu badan. Aku lupa berapa lama tepatnya berada di toko buku
itu. Sebuah toko buku yang menghadirkan dirinya dikala kebimbangan menyeruak
menjadi suara-suara yang mengganggu kenyamanan batinku. Barangkali seperti
ungkapan anak-anak muda “Cinta pada pandangan pertama”, aku tidak mampu
mengelak ungkapan itu. Semakin memperjelas bahwa kehadiran cinta tidak perlu
menunggu keputusan logika.
***
Sore
yang basah dengan debur ombak di sela-sela jari-jari kaki, tanganku masih
menggenggam pasir hangat dan secup minuman
segar sisa-sisa beberapa menit yang lalu. Selembar kertas putih yang sengaja
aku selipkan di sebuah book file mini
tidak juga beberapa bait kerinduan muncul di atasnya. Aku bosan dengan suasana
pantai yang melulu mendendangkan deburan ombak dengan melody kicauan camar. Display dikeujungan bibir pantai selalu
menghayutkan buih-biuh putih. Benarkah tanpa adanya deburan ombak pantai
seperti bibir tanpa lidah yang mampu mengecap. Nyatanya memang deburan ombak
menjilati jari-jari kedua kaki siapa saja yang berkenan memasuki bibir pantai.
Karena
sudah mendekati waktu maghrib aku putuskan untuk kembali lagi pada esok hari.
Tidak mungkin aku paksakan menunggu kemunculan bait-bait kerinduan sampai fajar
pagi melambai. Aku tak pernah menyesali kenyataan hidup yang saat ini berjalan
secara alamiah. Terutama penyesalan keputusanku untuk menerima ia sebagai
seorang kekasih yang hanya dia saja yang aku cintai dan sayangi. Betapa cinta
itu menuntut keseriusan, kesungguhan yang nyata yang semestinya dijaga baik-
baik dari sesuatu apa pun yang menyebabkan cinta itu sirna pelan-pelan. Jika
semua pelaku cinta menyadari betul hal itu, kelak tidak ada lagi air mata yang
menetes karena kesemena-menaan.
Kamar
aku tutup rapat-rapat. Malam ini biarlah menjadi malam kerinduan yang
menggentayangkan imajinasi-imajinasi kenangan dengan dirinya. Kerinduan ini
sungguh bukanlah kebohongan semata, seperti kata-kata penggombal kepada
kekasihnya: “aku rindu sekali dirimu, sayang”, “sehari tak berjumpa bak lebih
baik aku tak mengenal dirimu, sayang, kalau hanya untuk melihatmu, bertemu mu sehari
saja”. Kerinduan aku akan dirinya sungguh merupakan kemurnian cinta. Entah
kemurnian yang sejati atau hanya kerinduan biasa seorang kekasih kepada yang
dikasihinya. Kesejatian atau aku biasa menyebut kehakekatan, pada suatu hal
atau peristiwa dalam hidup ini berlangsung semata-mata kehendak Tuhan yang
sudah digariskan, lalu Tuhan perindah garis-garis itu dalam berbagi bentuk,
sigsag, curve, vertical, atau horizontal. Pada keutuhan garis-garis itu, Tuhan
beri warna-warna indah, Tuhan perhias agar garis-garis hidup yang menurut
kepercayaan kita selalu mengawali setiap akan terjadinya sesuatu akan selalu
tampak indah dan menawan. Aku yakin ini adalah salah satu garis yang Tuhan
perindah pada setiap ketentuan yang berlaku atas hidupku.
Tak
apalah jika kerinduan yang aku pelihara justru memelihara diriku dari
ketidakbaikan-ketidakbaikan yang hanya Tuhan saja yang mengetahui hal ihwal
yang pas dan tidak pantas untukku. Aku percayakan penuh pada alur hidup ini
akan membawa diri ini kemana. Namun kekurang sepakatanku pada pernyataan “Biarlah
hidup mengalir apa adanya.” Ironis terdengarnya. Mengapa untuk menentukan arah
diri yang mengalir pada dorongan-dorongan hati mempercayakan sepenuhnya pada
sumber yang menyebabkan aliran dorongan-dorongan itu menjadi tak beraturan.
Sedangkan air saja yang tidak memiliki otak dan nurani sebagai mana kita, bisa
memisahkan diri dari sumber aliran-aliran yang berbeda dari sejenis dzat
keairan itu. Adakah air yang mengikuti sumber dari aliran-aliran minyak bekas,
lalu menyatu?
Lucu.
Hidup ini penuh dengan tawa dan terbahak-bahak karena mungkin kekonyolan yang
kita lakukan baru kita sadari bahwa itu adalah hal konyol yang mengapa bisa
kita lakukan, setalah kita melakukan kekoyolan itu yang malah kita sadari awal
sebagai hal yang biasa, lumrah, umum.
Ah, tapi aku membantah jika kerinduan aku padanya adalah kekonyolan yang
masih aku tetap pertahankan hingga di kamar ini aku menutup diri dari
keramaian. Biarlah suara-suara di luar berisik dan gaduh menurut tempatnya
masing-masing. Lampu dengan cahaya samar-samar pada beberapa kalimat yang aku
baca tak beraturan. Apa perlu aku benturkan batok kepala ini? Aku harus
selesaikan malam ini. Aku perjelas kerinduan ini pada dirinya. Suara kepakan
sayap-sayap nyamuk menjadi irama melankolis di dalam kamarku.
Jarum
jam melangkah dengan sangat hati-hati. Sepertinya ia tahu betapa aku menjaga
konsentrasi untuk menyelesaikannya malam ini juga. Bandul-bandul yang
seharusnya berbenturan sebagai pertanda pukul 00.00, menjadi kesunyian yang
semakin merayap ke dinding-dinding kamar. Di luar sana keriuhan padam dengan
kehadiran angin-angin malam yang berhembus. Antara kantuk dan terjaga aku
pertahankan agar kepala ini tidak membentur ke muka meja. Syukurlah, Tuhan
menambahkan daya untuk keseriusanku melengkapi hidup sebagai ikhitar yang tiada
henti.
Kantor
pos. Begitu aku terbangun justru tujuan tempat itu yang menimbulkan hasratku
untuk segera bergegas meninggalkan kamar. Hanya dua raup basuhan air yang
mengenai wajahku. Tak sempat mengganti pakaian, t-shirt merah yang semalam
masih kukenakan. Rambut yang sedikit berantakan dan masih menyimpan kandungan
minyak rambut yang kemarin, cukup dengan sedikit basuhan air, kemudian biarlah
sisir yang menatata tampilan rambutku. Minimal penampilanku pagi ini pantas untuk
disapa dan menyapa orang-orang. Sepucuk kerinduan itu kini telah tertoreh pada
secarik kertas yang aku khususkan menuliskan bait-bait kerinduan. Aku letakkan
dalam sebuah amplop mungil semungil dirinya manakala bibirnya terlipat. Tak
lupa, doa pengantar sebelum aku bubuhi perangko. Kantor pos tidaklah terlalu
jauh dari kediamanku. Untunglah aku tinggal di sebuah komplek yang memungkinkan
tersedianya akses pemenuh kebutuhan sehari-hari tanpa mengurangi banyak waktu
yang terbuang. Di seberang sana, mataku terarah pada sebuah kantor pos yang
seakan-akan memberitahu aku keberadaan dirinya.
“Mbak,
perangko yang dua ribu lima ratus, dua.” “Ada lagi mas,” Tanya ramah pelayan
kepadaku. “Oh iya, amplop yang warna ungu, satu, mbak. Jadi berapa, mbak
semuanya.” “Lima ribu lima ratus, mas.” “Terima kasih, mbak,” aku terima
kembalian lima ratus rupiah dan menuju ke meja penulisan surat.
Kepada
Yth, Kemuning, JL. Setia, No. 01, Komplek Bumi Khayangan, Bandung. Aku ulangi
lagi pengecekan alamat yang aku tuju itu. Aku resapi kata-kata yang semalam aku
tulisankan. Aku raba kata per kata. Kejelasan tinta-tinta yang berurai
menyiratkan makna yang sebenarnya dari surat yang aku kirimkan kepadanya. Jika
bukan karena kerinduan untuk apa aku tekadkan menuliskan dan mengirimkannya
sesegera mungkin.
“Berapa
hari, mbak sampainya?,” tanyaku kepada petugas loket 2. “Lusa juga sudah sampai
kok, mas,” balasnya sambil tetap mengetik alamat dan pengirim surat yang aku
serahkan padanya. Aku harap tidak sampai lusa surat itu sudah diterima olehnya.
Dan tentunya dia akan membaca suratku itu sambil memeluk berkali-kali lembaran surat dan mengulanginya
lagi. “Kerinduan yang terbalas,” batinku.
***
Hari ini
adalah hari pertama setelah surat itu terkirim. Sampai tidak ya. Ah mengapa aku
ragu dengan bisikan itu. Keyakinan akan selalu menghantarkan kepastian, untuk
apa pun itu. Tapi mengapa keyakinan itu selalu saja di telusupi oleh rasa
was-was? Apa mungkin itu adalah awal kekacauan dalam memperteguh keyakinan itu?
Biasanya tak seperti ini kondisi batinku. Perihal surat kerinduan yang kemarin
aku kirim adalah surat balasan dari aku yang ke lima selama dua bulan yang lalu
yang ku terima dengan rasa senang, karena Kemuning membalasnya dengan lembaran
kerinduan, torehan kasih sayang, dan di akhiri dengan tanda tangan kesetiaan.
Karena itulah aku jadi semakin yakin bahwa dia tercipta untukku.
Mbak
Sekar sering mengingatkan bahwa dalam menjalani suatu keputusan janganlah kita menyertakan keluarbiasaan yang
terlampau mengwah-wahkan yang sedang kita jalani. Bahasanya anak sekarangnya
“Lebay,” apa pun namanya lebay itu adalah awal indikasi yang mengarah pada
kekecewaan. “Silahkan, dik, nanti kamu juga akan mengerti sejalan peristiwa
yang kamu alami,” begitulah cara mbak Sekar menekankan pada setiap pembicaraan
yang mengandung peringatan. Selalu di awali dengan kata “Silahkan”. Kata itulah
yang membias dalam hatiku. Antara yakin dan tidak yakin, apakah betul yang ia
katakan itu?
Memang
dalam sebuah jalinan kasih percintaan jarak jauh memacu kesabaran yang luar
biasa. Aku benci kebohongan. Dan dari kebencian itu menjadi peringatan bagi
diri sendiri untuk tidak sekali-kali mencoba bohong apalagi sampai menyamankan
perbuatan bohong. Intinya adalah kepercayaan. Kepercayaan yang menyeluruh atas
yang sama-sama kita lakukan. Tentunya dengan tanggung jawab yang menyeluruh
juga.
Aku
percaya sepenuhnya kepada Kemuning, ia tetap pada seia sekata sesuai ikrar yang
kami tanamankan di lubuk hati masing-masing. Senyatanya ikrar itu tidak
menjamin keutuhan sebuah hubungan. Itulah yang sempat menampar wajah
kesetiaanku. Kenangan pahit itu justru yang mengental di benakku.
Selama ini aku rasakan getaran cinta itu masih
berdetak normal di dada, tidak ada keganjilan yang nampak. Untuk komunikasi
searah kita selalu menggunakan seluler sebagai penyampai pesan, penyambung
kerinduan kita melalui sela-sela kecil yang terdengar jelas, kami begitu mesra. Aku terlampau mencintainya. Untuk urusan
cinta kenapa manusia tidak bisa sebentar saja duduk tenang kemudian biarlah
rasio yang menilai kelayakan cinta yang sedang bergelora. Aku sungguh tak ingin
kehilangan Kemuning yang telah terlanjur menyetubuhiku dalam
kerinduan-kerinduan yang muncul tiap malam. Aku tidak bisa dan tidak akan
menihilkan dirinya begitu saja. Aku perlu alasan rasional yang memutuskan untuk
tidak lagi bersamanya dan menghayutkan kenangan-kenangan itu sejauh-jauhnya.
No comments:
Post a Comment