Saturday, December 14, 2013

Sepucuk Kerinduan Untuk Pacarku

SEPUCUK KERINDUAN  UNTUK PACARKU
CERPEN Bagus Setyoko Purwo
Suatu kerinduan akan tetap terjaga dalam kehangatan tungku di dada. Persis kerinduan yang saat ini membara dihatiku. Kerinduan itu menjelma menjadi relung waktu yang kerap kali membangungkan kenyenyakanku di pukul 4.00 dini hari. 
Rupanya semalam membiuskan kelelahan yang menjalar ke sendi-sendi tubuhku. Sehari penuh keringat menebus pori-pori badan. Matahari dengan pijaran yang menyala-nyala menyulut ke punggu badan. Aku lupa berapa lama tepatnya berada di toko buku itu. Sebuah toko buku yang menghadirkan dirinya dikala kebimbangan menyeruak menjadi suara-suara yang mengganggu kenyamanan batinku. Barangkali seperti ungkapan anak-anak muda “Cinta pada pandangan pertama”, aku tidak mampu mengelak ungkapan itu. Semakin memperjelas bahwa kehadiran cinta tidak perlu menunggu keputusan logika.
***
Sore yang basah dengan debur ombak di sela-sela jari-jari kaki, tanganku masih menggenggam pasir hangat dan secup minuman segar sisa-sisa beberapa menit yang lalu. Selembar kertas putih yang sengaja aku selipkan di sebuah book file mini tidak juga beberapa bait kerinduan muncul di atasnya. Aku bosan dengan suasana pantai yang melulu mendendangkan deburan ombak dengan melody kicauan camar. Display dikeujungan bibir pantai selalu menghayutkan buih-biuh putih. Benarkah tanpa adanya deburan ombak pantai seperti bibir tanpa lidah yang mampu mengecap. Nyatanya memang deburan ombak menjilati jari-jari kedua kaki siapa saja yang berkenan memasuki bibir pantai.
Karena sudah mendekati waktu maghrib aku putuskan untuk kembali lagi pada esok hari. Tidak mungkin aku paksakan menunggu kemunculan bait-bait kerinduan sampai fajar pagi melambai. Aku tak pernah menyesali kenyataan hidup yang saat ini berjalan secara alamiah. Terutama penyesalan keputusanku untuk menerima ia sebagai seorang kekasih yang hanya dia saja yang aku cintai dan sayangi. Betapa cinta itu menuntut keseriusan, kesungguhan yang nyata yang semestinya dijaga baik- baik dari sesuatu apa pun yang menyebabkan cinta itu sirna pelan-pelan. Jika semua pelaku cinta menyadari betul hal itu, kelak tidak ada lagi air mata yang menetes karena kesemena-menaan.
Kamar aku tutup rapat-rapat. Malam ini biarlah menjadi malam kerinduan yang menggentayangkan imajinasi-imajinasi kenangan dengan dirinya. Kerinduan ini sungguh bukanlah kebohongan semata, seperti kata-kata penggombal kepada kekasihnya: “aku rindu sekali dirimu, sayang”, “sehari tak berjumpa bak lebih baik aku tak mengenal dirimu, sayang, kalau hanya untuk melihatmu, bertemu mu sehari saja”. Kerinduan aku akan dirinya sungguh merupakan kemurnian cinta. Entah kemurnian yang sejati atau hanya kerinduan biasa seorang kekasih kepada yang dikasihinya. Kesejatian atau aku biasa menyebut kehakekatan, pada suatu hal atau peristiwa dalam hidup ini berlangsung semata-mata kehendak Tuhan yang sudah digariskan, lalu Tuhan perindah garis-garis itu dalam berbagi bentuk, sigsag, curve, vertical, atau horizontal. Pada keutuhan garis-garis itu, Tuhan beri warna-warna indah, Tuhan perhias agar garis-garis hidup yang menurut kepercayaan kita selalu mengawali setiap akan terjadinya sesuatu akan selalu tampak indah dan menawan. Aku yakin ini adalah salah satu garis yang Tuhan perindah pada setiap ketentuan yang berlaku atas hidupku.
Tak apalah jika kerinduan yang aku pelihara justru memelihara diriku dari ketidakbaikan-ketidakbaikan yang hanya Tuhan saja yang mengetahui hal ihwal yang pas dan tidak pantas untukku. Aku percayakan penuh pada alur hidup ini akan membawa diri ini kemana. Namun kekurang sepakatanku pada pernyataan “Biarlah hidup mengalir apa adanya.” Ironis terdengarnya. Mengapa untuk menentukan arah diri yang mengalir pada dorongan-dorongan hati mempercayakan sepenuhnya pada sumber yang menyebabkan aliran dorongan-dorongan itu menjadi tak beraturan. Sedangkan air saja yang tidak memiliki otak dan nurani sebagai mana kita, bisa memisahkan diri dari sumber aliran-aliran yang berbeda dari sejenis dzat keairan itu. Adakah air yang mengikuti sumber dari aliran-aliran minyak bekas, lalu menyatu?
Lucu. Hidup ini penuh dengan tawa dan terbahak-bahak karena mungkin kekonyolan yang kita lakukan baru kita sadari bahwa itu adalah hal konyol yang mengapa bisa kita lakukan, setalah kita melakukan kekoyolan itu yang malah kita sadari awal sebagai hal yang biasa, lumrah, umum.  Ah, tapi aku membantah jika kerinduan aku padanya adalah kekonyolan yang masih aku tetap pertahankan hingga di kamar ini aku menutup diri dari keramaian. Biarlah suara-suara di luar berisik dan gaduh menurut tempatnya masing-masing. Lampu dengan cahaya samar-samar pada beberapa kalimat yang aku baca tak beraturan. Apa perlu aku benturkan batok kepala ini? Aku harus selesaikan malam ini. Aku perjelas kerinduan ini pada dirinya. Suara kepakan sayap-sayap nyamuk menjadi irama melankolis di dalam kamarku.
Jarum jam melangkah dengan sangat hati-hati. Sepertinya ia tahu betapa aku menjaga konsentrasi untuk menyelesaikannya malam ini juga. Bandul-bandul yang seharusnya berbenturan sebagai pertanda pukul 00.00, menjadi kesunyian yang semakin merayap ke dinding-dinding kamar. Di luar sana keriuhan padam dengan kehadiran angin-angin malam yang berhembus. Antara kantuk dan terjaga aku pertahankan agar kepala ini tidak membentur ke muka meja. Syukurlah, Tuhan menambahkan daya untuk keseriusanku melengkapi hidup sebagai ikhitar yang tiada henti.
Kantor pos. Begitu aku terbangun justru tujuan tempat itu yang menimbulkan hasratku untuk segera bergegas meninggalkan kamar. Hanya dua raup basuhan air yang mengenai wajahku. Tak sempat mengganti pakaian, t-shirt merah yang semalam masih kukenakan. Rambut yang sedikit berantakan dan masih menyimpan kandungan minyak rambut yang kemarin, cukup dengan sedikit basuhan air, kemudian biarlah sisir yang menatata tampilan rambutku. Minimal penampilanku pagi ini pantas untuk disapa dan menyapa orang-orang. Sepucuk kerinduan itu kini telah tertoreh pada secarik kertas yang aku khususkan menuliskan bait-bait kerinduan. Aku letakkan dalam sebuah amplop mungil semungil dirinya manakala bibirnya terlipat. Tak lupa, doa pengantar sebelum aku bubuhi perangko. Kantor pos tidaklah terlalu jauh dari kediamanku. Untunglah aku tinggal di sebuah komplek yang memungkinkan tersedianya akses pemenuh kebutuhan sehari-hari tanpa mengurangi banyak waktu yang terbuang. Di seberang sana, mataku terarah pada sebuah kantor pos yang seakan-akan memberitahu aku keberadaan dirinya.
“Mbak, perangko yang dua ribu lima ratus, dua.” “Ada lagi mas,” Tanya ramah pelayan kepadaku. “Oh iya, amplop yang warna ungu, satu, mbak. Jadi berapa, mbak semuanya.” “Lima ribu lima ratus, mas.” “Terima kasih, mbak,” aku terima kembalian lima ratus rupiah dan menuju ke meja penulisan surat.
Kepada Yth, Kemuning, JL. Setia, No. 01, Komplek Bumi Khayangan, Bandung. Aku ulangi lagi pengecekan alamat yang aku tuju itu. Aku resapi kata-kata yang semalam aku tulisankan. Aku raba kata per kata. Kejelasan tinta-tinta yang berurai menyiratkan makna yang sebenarnya dari surat yang aku kirimkan kepadanya. Jika bukan karena kerinduan untuk apa aku tekadkan menuliskan dan mengirimkannya sesegera mungkin.
“Berapa hari, mbak sampainya?,” tanyaku kepada petugas loket 2. “Lusa juga sudah sampai kok, mas,” balasnya sambil tetap mengetik alamat dan pengirim surat yang aku serahkan padanya. Aku harap tidak sampai lusa surat itu sudah diterima olehnya. Dan tentunya dia akan membaca suratku itu sambil memeluk berkali-kali lembaran surat dan mengulanginya lagi. “Kerinduan yang terbalas,” batinku.
***
Hari ini adalah hari pertama setelah surat itu terkirim. Sampai tidak ya. Ah mengapa aku ragu dengan bisikan itu. Keyakinan akan selalu menghantarkan kepastian, untuk apa pun itu. Tapi mengapa keyakinan itu selalu saja di telusupi oleh rasa was-was? Apa mungkin itu adalah awal kekacauan dalam memperteguh keyakinan itu? Biasanya tak seperti ini kondisi batinku. Perihal surat kerinduan yang kemarin aku kirim adalah surat balasan dari aku yang ke lima selama dua bulan yang lalu yang ku terima dengan rasa senang, karena Kemuning membalasnya dengan lembaran kerinduan, torehan kasih sayang, dan di akhiri dengan tanda tangan kesetiaan. Karena itulah aku jadi semakin yakin bahwa dia tercipta untukku.
Mbak Sekar sering mengingatkan bahwa dalam menjalani suatu keputusan  janganlah kita menyertakan keluarbiasaan yang terlampau mengwah-wahkan yang sedang kita jalani. Bahasanya anak sekarangnya “Lebay,” apa pun namanya lebay itu adalah awal indikasi yang mengarah pada kekecewaan. “Silahkan, dik, nanti kamu juga akan mengerti sejalan peristiwa yang kamu alami,” begitulah cara mbak Sekar menekankan pada setiap pembicaraan yang mengandung peringatan. Selalu di awali dengan kata “Silahkan”. Kata itulah yang membias dalam hatiku. Antara yakin dan tidak yakin, apakah betul yang ia katakan itu?
Memang dalam sebuah jalinan kasih percintaan jarak jauh memacu kesabaran yang luar biasa. Aku benci kebohongan. Dan dari kebencian itu menjadi peringatan bagi diri sendiri untuk tidak sekali-kali mencoba bohong apalagi sampai menyamankan perbuatan bohong. Intinya adalah kepercayaan. Kepercayaan yang menyeluruh atas yang sama-sama kita lakukan. Tentunya dengan tanggung jawab yang menyeluruh juga.
Aku percaya sepenuhnya kepada Kemuning, ia tetap pada seia sekata sesuai ikrar yang kami tanamankan di lubuk hati masing-masing. Senyatanya ikrar itu tidak menjamin keutuhan sebuah hubungan. Itulah yang sempat menampar wajah kesetiaanku. Kenangan pahit itu justru yang mengental di benakku.
 Selama ini aku rasakan getaran cinta itu masih berdetak normal di dada, tidak ada keganjilan yang nampak. Untuk komunikasi searah kita selalu menggunakan seluler sebagai penyampai pesan, penyambung kerinduan kita melalui sela-sela kecil yang terdengar jelas, kami begitu mesra.  Aku terlampau mencintainya. Untuk urusan cinta kenapa manusia tidak bisa sebentar saja duduk tenang kemudian biarlah rasio yang menilai kelayakan cinta yang sedang bergelora. Aku sungguh tak ingin kehilangan Kemuning yang telah terlanjur menyetubuhiku dalam kerinduan-kerinduan yang muncul tiap malam. Aku tidak bisa dan tidak akan menihilkan dirinya begitu saja. Aku perlu alasan rasional yang memutuskan untuk tidak lagi bersamanya dan menghayutkan kenangan-kenangan itu sejauh-jauhnya.

No comments: