METAFORA
KENANGAN
Cerpen Bagus Setyoko Purwo
Mula-mula
cahaya menerangi sebuah ruang hampa yang menyimpan sekepal tanah. Angin
berhembus menerobos dinding-dinding keropos disertai gemericik gerimis yang
merembes dan berubah menjadi sebuah
gumpalan merah. Sebutlah itu adalah hati sebagai penyimpan segala rasa yang
terkehendaki.
Ada peristiwa-peristiwa
betapa manusia menginginkan itu terulang
kembali. Namun juga tak sedikit momentum ketika manusia sama sekali berharap
Tuhan membuang jauh-jauh kilasan lama yang barangkali itu menyakitkan. Sama
saja dengan pahitnya kenangan yang berbekas dilidah saat mengucap kata-kata
atau ketidaksengajaan mengeja namanya dalam suatu curahan hati. Aku mengenang
dia sebagai kisah kiasan yang tak kuharap ia hadir lagi dalam hidupku.
Bolehkah aku bermonolog
tentang cinta dan pengorbanan? Cinta yang selalu diagung-agungkan manusia
karena menurut mereka cinta itu adalah keniscayaan. Kenapa bisa-bisanya mereka
mengatakan adalah keniscayaan. Aku duga cinta telah melebur menjadi diksi-diksi
yang membingungkan bahkan mereka terlampau dibuat manja oleh kehadiran cinta
yang menghanyutkan.
Apakah cinta selalu
sejalan dengan kata hati, dengan bisikan hati, dengan lintasan kebenaran yang
Tuhan sembunyikan dalam hati? Apakah cinta pertama adalah kejujuran refleks
yang tidak bisa terulang? Lantas bagaimana dengan sang petualang cinta yang
selalu menemui kebuntuan penelusuran jalan cinta yang ia tempuh? Rasanya tak
kurang-kurangnya para pujangga mengurai cinta melalui larik-larik yang malah membiuskan
para penganggum cinta, termasuk aku.
Cinta dan pengorbanan
adalah dua muka dalam satu keping logam yang tak terpisahkan. Wujud cinta bisa
dikenali dari hadirnya pengorbanan. Wujud pengorbanan pun juga menyertai
keberadaan dimana cinta itu muncul. Jadi, jika ada cinta yang tidak menyertai
pengorbanan, maka itu bukanlah cinta. Begitu halnya dengan pengorbanan yang
mengalir menuju telaga cinta.
Baik. Aku sederhanakan
pengungkapan cinta agar para pembaca yang tak sadar dengan ketajaman mata cinta
yang menyayat segera bangun dari mimpi yang seolah indah. Cintaku bersemi pada
seorang laki-laki yang berbola mata hitam dengan bulu-bulu mata yang nyaris
mengenai alis matanya. Ia berwajah teduh, yang kurasakan saat itu. Tutur kata
yang menyejukkan aku sadari saat keakraban aku dengannya menyatu. Dalam waktu
kebersamaan cukup lama, ia menunjukkan kematangan cinta, dan itu juga menurut
nalarku menilai sosoknya. Ia berubah menjadi kakak yang menopang kesulitanku
dan sejalan dengan itu ia juga aku harapkan menjadi kekasih yang melindungi
batinku untuk tidak menaruh hati kepada selainnya. Tubuhnya yang lebih tinggi
dariku menumbangkan ego-sego ketidakdewasaanku. Selalu saja aku merengek begini
dan begitu. Dan yang menaru kekagumanku padanya tidak sedikitpun amarah yang
mengembang di wajahnya. Aku pikir ia bukan hanya seorang pria biasa. Ia lebih
dari banyak teman pria yang ku kenal. Sederhana, penyayang dan pengertian.
Sungguh merupakan idaman perempuan siapa pun.
Masih belum sampai
disitu. Pengorbanan yang ia berikan padaku, aku nilai sebagai bentuk ketulusan
semata. Aku yakin sekali bukan karena pamrih ia menyukaiku. Juga bukan karena
aku telah banyak berbuat baik padanya sebelum ia melakukan kebaikan yang
setimpal.
“Rean Laksana”, aku
melirih mengenangmu. Memaksa kembali kehadiran sosok Rean ditengah-tengah
keterbelengguanku memahami kenyataan yang tidak kuharapkan. Dahulu, Rean sangat
gemar berlumur keringat. Berpacu di lapangan mengejar bola. Menghalau musuh
yang menggiring bola. Menembak bola menerobos penjaga gawang yang kalap dengan syut kaki kirinya yang kencang.
Gemuruhku mengakasa di stadion. Aku bangga menjadi bagian terindah dalam
dirinya.
***
“Ningsih, nanti kita
pulang bareng ya”, ajak Rean setelah bel istirahat berakhir. Aku tak bisa
menyembunyikan kegembiraan ajakannya. “Oke”, balasku dengan senyum yang
menyungging. Pulang bersama merupakan hal yang aku tunggu-tunggu manakala bel
jam terakhir berbunyi. Dan aku pun berada dibelakang Rean. Ia kemudikan motor
sambil mengembangkan obrolan kita. Kita pun tertawa derai dan seringkali ku
dapati lirikan matanya melalui kaca sepion ke arahku. Dan aku seperti belagak
tak mengetahui pencurian pandang darinya.
Jika malam tiba yang ku
harapkan selalu sms masuk darinya. “Malam Ningsih”. Meski hanya sms itu hatiku
bertebrangan sambil membacanya. Tak sadar hp ku peluk sebagai pelampiasan kerinduan
yang terpendam. Tak ada yang lebih istimewa dari dirinya.
Wanita atau pria akan
menuju fitrahnya masing-masing. Mungkin inilah yang aku alami sebagai proses
menuju kefitrahan manusia. Menuju penciptaan awal manusia. Penciptaan manusia
yang sebenarnya Tuhan juga melengkapi kasih sayang manusia baik untuk sesama
atau berlain jenis. Semoga saja aku bagian dari tulang rusuknya. Semoga saja
tidak ada pria selain ia yang tercipta untukku. Demikian fanatiknya aku menjaga cintaku padanya. Apakah Rean juga
demikian?
***
Senangnya bukan main
saat kencan pertama dengannya. Rean tampak tampan sungguhan. Lebih dari
ketampanan yang aku sukai saat ia selesai bertanding. Ketampanan yang hanya aku
saja yang boleh menikmatinya. “Oh My God”, lirih batinku. “Ayo kita mau makan
dimana, sih?”, Tanya ia dengan panggilan yang ku sukai. Tanpa menunggu
inisiatif yang terlalu lama, ia mengajak ku makan di pujasera seberang lampu
merah. Ingin rasanya aku menggenggam tangannya. Bergelayut dipundaknya.
Bermanja-manja di peluknya. Bersemayam kehangatan yang menjalar dengan
sentuhan-sentuhan jari-jarinya. Alangkah berharapnya aku bisa seperti ini
selalu.
Tak lama dari kencan
itu, aku pun menerima ungkapan cinta Rean. Aku dan ia layaknya sepasang kekasih
yang siap menyongsong hari-hari indah bersamanya. Tak lupa ku sebut-sebut
syukur atas kehendak Tuhan yang mengabulkan doa-doa yang aku rintih dalam
kalbu. “Terima kasih ya Tuhan, Engkau utus ia sebagai tambatan hatiku yang
nyata”.
“Rean”, sapa manjaku.
“Iya sayang”, mendekat ia padaku. “Aku ingin kita abadi meski maut memisahkan
kita nanti”. “Amin”, sepatah kata pengharapan ia dalam doa. Bergulirnya waktu
menambah keyakinanku tak salah aku menerima cintanya. Tak salah aku menjadikan
ia pangeran cinta pendampingku di istana hati. Kelak ini benar-benar sungguhan. Di hadapan Tuhan kami
mengikrarkan kesucian cinta. Bahtera kehidupan pun kami arungi bersama.
Hari-hari yang
terlewati selalu dengannya. Kemanapun aku pergi kesetiaan ia tetap tidak tergoyahkan.
Sampai-sampai tak ada cela pertengkaran antara aku dengan Rean. “Rean, apa yang
menyebabkan kamu simpatik denganku?”, tanyaku dengan sorot mata serius. Ia
masih tetap dengan posisi duduk menyelonjor. Di raihannya daguku dengan tangan
kanannya. Tersenyum lepas padaku dan dikecuplah keningku. Dalam eratan
tangannya ia katakan ”Aku tak hanya simpatik padamu karena kebaikanmu. Sesungguhnya
karena keikhlasanmu itulah yang membuat rasa simpatikku membenih cinta yang ku
tanam di ladang lubuk hatimu, sih”.
Ah, Rean, kau
benar-benar membuatku mabuk kepayah. Kau letakan aku pada cawan kemesraan yang
mewah. Kau puja aku melalui syair-syair tanpa batas kemesraan. Lisan Kahlil
Gibran kau pinjam demi mempertebal keyakinanku mencintaimu. Aku tak berdaya,
Rean.
Mungkin ada betulnya
juga bila cinta membuat lupa segalanya. Aku ingat persisnya kejadian yang
menyudutkan Rean pada suatu persoalan yang pelik. Kepenyertaan diriku yang
menyudutkanku pada hal yang sama sekali aku tidak mengerti perkara yang
menimpanya. Keluargaku seketika ramai diberitakan. Rumor-rumor yang memilukan
serempak menimpa keluarga. Apakah Rean pelaku tunggal atas perkara yang
terjadi?
Rean sama sekali tidak
menunjukkan gelagat nakal seperti teman-temannya yang mulai menyoba-nyoba
kenakalan ringan. Bahkan merokok pun sejauh ini aku belum pernah menemukan
dirinya mengepulkan asap ke udara. Memang menimbulkan banyak tanya ketika sosok
dirinya yang sesungguhnya muncul ke permukaan. “Jadi selama ini kamu enggak tau
apa kebiasaan ia?”, pertanyaan yang silih berganti dihadapkan padaku. Aku
memang kekasihnya, namun aku tidak
mengenali sesungguhnya.
***
Malam sekitar pukul 20.00
WIB aku menerima kabar dari temanku yang saat itu sedang hunting di pusat perbelanjaan. “Ning, aku melihat Rean bersama
seorang perempuan paruh tua”. Aku menduga baik pada saat mendengar kabar itu
melalui ponsel. Ah mungkin ia sedang
menemani tantenya. Sehari setelah itu, temanku yang berbeda juga mendapati
Rean berada di restoran sedang menyantap bersama yang katanya dengan sosok yang
sama dengan yang kemarin temanku katakan. Ah
barangkali ia sedang menghibur tantenya.
Selama
aku menerima beragam kabar yang serupa, sesaat aku berfikir untuk membuktikan
kebenaran kabar-kabar itu. “Apa benar yang di sampaikan Nina kemarin ya?”, lirihku bertanya-tanya. Persis pada kabar
yang kesekian kali aku terima, aku putuskan untuk malam itu langsung mengcek ia
berada.
Sebersit
niat untuk membuktikan keberadaan Rean di dahului oleh kabar jelas yang dibawa
oleh beberapa polisi yang mengetuk rumahku. Malam pilu yang menghentakkan
kegetiran aku dan keluarga. Namaku di bawa-bawa sebagai kekasih Rean. Yang
dengan itu aku pun ditenggarai mengetahui perihal kepribadian Rean. Aku bingung
pada kondisi yang memojokkan seperti itu. Rean menggeramkan jiwa ragaku. Rean
menimbulkan luka dalam di relung-relung hatiku. Ku tatap wajah Rean yang
menunduk. Secercah kasih sayang baginya tak lagi ada. Aku terbohongi oleh
sikapnya selama ini. Menyangka kebaikan-kebaikan yang sesungguhnya ia lakukan
adalah lahir dari ketulusan semata. Namun terbukti semua dibalik rasa
simpatik yang palsu, rasa cinta yang munafik, dan kedewasaan yang ia
rekayasa.
Sesungguhnya
Rean tidak bisa disalahkan sepenuhnya. Ia menjadi seperti itu karena kondisi
yang menghendaki dirinya untuk bisa menafkahi hidup adik-adiknya yang masih
kecil. Rean bertahan dengan strategi yang salah. Aku pikir dengan ia menjadi
kekasihku, aku bisa sedikit melepaskan kebingungan dirinya mencukupi kebutuhan
keluarganya sehari-hari. Nyatanya justru tidak. Rean terbuai dengan kemewahan
yang ia peroleh dari kondisi yang ia jalani berbarengan dengan jalinan kisah
cintaku dengannya.
***
Entah aku harus
bersikap seperti apa? Haruskah aku mengasihinya bukan lagi sebagai kekasihnya?
Apakah aku yang salah selama ini? Pertanyaan-pertanyaan itu yang mengepungku di
ruang persidangan kasus keterlibatan Rean dengan sejumlah skandal. Kegalauan
yang meracau di batin, tertahan terucap dan menjadi-jadi. Aku tak sanggup menjalani
hidup.
“Saudari Ningsih
Kemuning, benarkah Anda kekasih Rean Laksana?”, tanya di persidangan. Aku
mengangguk. “Apakah Saudara pernah bertemu atau sudah mengenal Nyonya AN?”. Aku
menggeleng, bersuara kecil tanpa tenaga “Tidak mengenal dan tidak pernah
bertemu”. Rean duduk dikursi terdakwa. Menunggu eksekusi berikutnya.
Apa pun keputusan
pengadilan itulah yang terbaik. Rean, kau tidak lagi rupawan di mataku. Kau
tidak lagi sosok berharga bagiku. Rean, kejenuhanku justru bukan pada
kekurangan yang ada padamu. Aku menerima sepenuhnya yang ada padamu pada waktu
yang tidak saat ku tahu kau sesungguhnya mengingkari kesetianku.
Selesai persidangan
barulah terungkap semua yang selama ini Rean sembunyikan padaku. Kesimpulanku
tentang Rean tidak memutuskan kehendak batinku untuk tidak mencela kealpaan ia,
untuk tidak membenci ia dan lebih pada memaklumi ia sebagai manusia biasa yang
tak luput dari kesalahan. “Maafkan aku sih, aku terpaksa berpura-pura mencintai
tante Anita. Aku terpaksa menaruh kemeseraan padanya. Aku tahu ini salah, tapi
aku tidak bisa meninggalkan kewajiban memenuhi kebutuhan hidup keluarga. Aku
butuh banyak biaya sih. Aku sengaja menutupi penyakit akutku dan tidak
memberitahumu. Aku tidak ingin menambah beban bagi orang lain. Aku bisa
mandiri. Saat keterpepetan itulah aku mengenal tante Anita dan ia sangat baik
padaku. Anggapanku dengan menjadi kekasihnya adalah kesalahan yang baru aku
sesali sih. Maafkan aku sih telah mengingkari janji setia kita”.
***
Seminggu tanpa
kehadiranya, aku mulai terbiasa. Sebulan tanpa suaranya hatiku juga tidak
merana. Sampai pada hitungan enam bulan ia mendekam di lembaga permasyarakatan.
Aku sudah bisa menghapus kenangan-kenangan bersamanya. Terakhir aku menjenguk
Rean, matanya selalu berkaca-kaca. Lisannya lebih banyak tertutup dan beberapa
kali mengurai air mata. Kesedihan kah yang ia pendam selama berada di dalam
jeruji? Aku menangkap pesan terakhir Rean meski mulutnya lagi-lagi tak
bergerak. Bahasa kalbu aku dengannya masih sama seperti dulu.
Ada semacam penyesalan
yang bagiku tidak patut untuk diratapi. Aku menyesal salah menelisik
kepribadian orang melalui perbuatan-perbuatan baik yang aku nilai sungguh
kebaikan yang murni. Untuk yang pertama dan yang terakhir, Rean telah menjadi
guru terindah dalam hidupku. Biarlah kisah cintaku dengannya nanti menjadi
sebuah cerita panjang bagi anak-anakku kelak yang ku kemas agar mereka tidak
menyangka awal bahwa akulah yang mengalami hal itu. Bukan karena malu untuk
mengakuinya, namun lebih karena aku menjaga rapat-rapat agar metafora kenangan
itu tidak lagi menyulutkan kesedihanku, dua tahun yang lalu. Bekasi,
15 Maret 2013
No comments:
Post a Comment