Saturday, December 14, 2013

Metafora Kenangan

METAFORA KENANGAN
Cerpen Bagus Setyoko Purwo
Mula-mula cahaya menerangi sebuah ruang hampa yang menyimpan sekepal tanah. Angin berhembus menerobos dinding-dinding keropos disertai gemericik gerimis yang merembes  dan berubah menjadi sebuah gumpalan merah. Sebutlah itu adalah hati sebagai penyimpan segala rasa yang terkehendaki.

Ada peristiwa-peristiwa betapa  manusia menginginkan itu terulang kembali. Namun juga tak sedikit momentum ketika manusia sama sekali berharap Tuhan membuang jauh-jauh kilasan lama yang barangkali itu menyakitkan. Sama saja dengan pahitnya kenangan yang berbekas dilidah saat mengucap kata-kata atau ketidaksengajaan mengeja namanya dalam suatu curahan hati. Aku mengenang dia sebagai kisah kiasan yang tak kuharap ia hadir lagi dalam hidupku.
Bolehkah aku bermonolog tentang cinta dan pengorbanan? Cinta yang selalu diagung-agungkan manusia karena menurut mereka cinta itu adalah keniscayaan. Kenapa bisa-bisanya mereka mengatakan adalah keniscayaan. Aku duga cinta telah melebur menjadi diksi-diksi yang membingungkan bahkan mereka terlampau dibuat manja oleh kehadiran cinta yang menghanyutkan.
Apakah cinta selalu sejalan dengan kata hati, dengan bisikan hati, dengan lintasan kebenaran yang Tuhan sembunyikan dalam hati? Apakah cinta pertama adalah kejujuran refleks yang tidak bisa terulang? Lantas bagaimana dengan sang petualang cinta yang selalu menemui kebuntuan penelusuran jalan cinta yang ia tempuh? Rasanya tak kurang-kurangnya para pujangga mengurai cinta melalui larik-larik yang malah membiuskan para penganggum cinta, termasuk aku.
Cinta dan pengorbanan adalah dua muka dalam satu keping logam yang tak terpisahkan. Wujud cinta bisa dikenali dari hadirnya pengorbanan. Wujud pengorbanan pun juga menyertai keberadaan dimana cinta itu muncul. Jadi, jika ada cinta yang tidak menyertai pengorbanan, maka itu bukanlah cinta. Begitu halnya dengan pengorbanan yang mengalir menuju telaga cinta.
Baik. Aku sederhanakan pengungkapan cinta agar para pembaca yang tak sadar dengan ketajaman mata cinta yang menyayat segera bangun dari mimpi yang seolah indah. Cintaku bersemi pada seorang laki-laki yang berbola mata hitam dengan bulu-bulu mata yang nyaris mengenai alis matanya. Ia berwajah teduh, yang kurasakan saat itu. Tutur kata yang menyejukkan aku sadari saat keakraban aku dengannya menyatu. Dalam waktu kebersamaan cukup lama, ia menunjukkan kematangan cinta, dan itu juga menurut nalarku menilai sosoknya. Ia berubah menjadi kakak yang menopang kesulitanku dan sejalan dengan itu ia juga aku harapkan menjadi kekasih yang melindungi batinku untuk tidak menaruh hati kepada selainnya. Tubuhnya yang lebih tinggi dariku menumbangkan ego-sego ketidakdewasaanku. Selalu saja aku merengek begini dan begitu. Dan yang menaru kekagumanku padanya tidak sedikitpun amarah yang mengembang di wajahnya. Aku pikir ia bukan hanya seorang pria biasa. Ia lebih dari banyak teman pria yang ku kenal. Sederhana, penyayang dan pengertian. Sungguh merupakan idaman perempuan siapa pun.
Masih belum sampai disitu. Pengorbanan yang ia berikan padaku, aku nilai sebagai bentuk ketulusan semata. Aku yakin sekali bukan karena pamrih ia menyukaiku. Juga bukan karena aku telah banyak berbuat baik padanya sebelum ia melakukan kebaikan yang setimpal.
“Rean Laksana”, aku melirih mengenangmu. Memaksa kembali kehadiran sosok Rean ditengah-tengah keterbelengguanku memahami kenyataan yang tidak kuharapkan. Dahulu, Rean sangat gemar berlumur keringat. Berpacu di lapangan mengejar bola. Menghalau musuh yang menggiring bola. Menembak bola menerobos penjaga gawang yang kalap dengan syut kaki kirinya yang kencang. Gemuruhku mengakasa di stadion. Aku bangga menjadi bagian terindah dalam dirinya.
***
“Ningsih, nanti kita pulang bareng ya”, ajak Rean setelah bel istirahat berakhir. Aku tak bisa menyembunyikan kegembiraan ajakannya. “Oke”, balasku dengan senyum yang menyungging. Pulang bersama merupakan hal yang aku tunggu-tunggu manakala bel jam terakhir berbunyi. Dan aku pun berada dibelakang Rean. Ia kemudikan motor sambil mengembangkan obrolan kita. Kita pun tertawa derai dan seringkali ku dapati lirikan matanya melalui kaca sepion ke arahku. Dan aku seperti belagak tak mengetahui pencurian pandang darinya.
Jika malam tiba yang ku harapkan selalu sms masuk darinya. “Malam Ningsih”. Meski hanya sms itu hatiku bertebrangan sambil membacanya. Tak sadar hp ku peluk sebagai pelampiasan kerinduan yang terpendam. Tak ada yang lebih istimewa dari dirinya.
Wanita atau pria akan menuju fitrahnya masing-masing. Mungkin inilah yang aku alami sebagai proses menuju kefitrahan manusia. Menuju penciptaan awal manusia. Penciptaan manusia yang sebenarnya Tuhan juga melengkapi kasih sayang manusia baik untuk sesama atau berlain jenis. Semoga saja aku bagian dari tulang rusuknya. Semoga saja tidak ada pria selain ia yang tercipta untukku. Demikian fanatiknya aku  menjaga cintaku padanya. Apakah Rean juga demikian?
***
Senangnya bukan main saat kencan pertama dengannya. Rean tampak tampan sungguhan. Lebih dari ketampanan yang aku sukai saat ia selesai bertanding. Ketampanan yang hanya aku saja yang boleh menikmatinya. “Oh My God”, lirih batinku. “Ayo kita mau makan dimana, sih?”, Tanya ia dengan panggilan yang ku sukai. Tanpa menunggu inisiatif yang terlalu lama, ia mengajak ku makan di pujasera seberang lampu merah. Ingin rasanya aku menggenggam tangannya. Bergelayut dipundaknya. Bermanja-manja di peluknya. Bersemayam kehangatan yang menjalar dengan sentuhan-sentuhan jari-jarinya. Alangkah berharapnya aku bisa seperti ini selalu.
Tak lama dari kencan itu, aku pun menerima ungkapan cinta Rean. Aku dan ia layaknya sepasang kekasih yang siap menyongsong hari-hari indah bersamanya. Tak lupa ku sebut-sebut syukur atas kehendak Tuhan yang mengabulkan doa-doa yang aku rintih dalam kalbu. “Terima kasih ya Tuhan, Engkau utus ia sebagai tambatan hatiku yang nyata”.
“Rean”, sapa manjaku. “Iya sayang”, mendekat ia padaku. “Aku ingin kita abadi meski maut memisahkan kita nanti”. “Amin”, sepatah kata pengharapan ia dalam doa. Bergulirnya waktu menambah keyakinanku tak salah aku menerima cintanya. Tak salah aku menjadikan ia pangeran cinta pendampingku di istana hati. Kelak ini  benar-benar sungguhan. Di hadapan Tuhan kami mengikrarkan kesucian cinta. Bahtera kehidupan pun kami arungi bersama.
Hari-hari yang terlewati selalu dengannya. Kemanapun aku pergi kesetiaan ia tetap tidak tergoyahkan. Sampai-sampai tak ada cela pertengkaran antara aku dengan Rean. “Rean, apa yang menyebabkan kamu simpatik denganku?”, tanyaku dengan sorot mata serius. Ia masih tetap dengan posisi duduk menyelonjor. Di raihannya daguku dengan tangan kanannya. Tersenyum lepas padaku dan dikecuplah keningku. Dalam eratan tangannya ia katakan ”Aku tak hanya simpatik padamu karena kebaikanmu. Sesungguhnya karena keikhlasanmu itulah yang membuat rasa simpatikku membenih cinta yang ku tanam di ladang lubuk hatimu, sih”.
Ah, Rean, kau benar-benar membuatku mabuk kepayah. Kau letakan aku pada cawan kemesraan yang mewah. Kau puja aku melalui syair-syair tanpa batas kemesraan. Lisan Kahlil Gibran kau pinjam demi mempertebal keyakinanku mencintaimu. Aku tak berdaya, Rean.
Mungkin ada betulnya juga bila cinta membuat lupa segalanya. Aku ingat persisnya kejadian yang menyudutkan Rean pada suatu persoalan yang pelik. Kepenyertaan diriku yang menyudutkanku pada hal yang sama sekali aku tidak mengerti perkara yang menimpanya. Keluargaku seketika ramai diberitakan. Rumor-rumor yang memilukan serempak menimpa keluarga. Apakah Rean pelaku tunggal atas perkara yang terjadi?
Rean sama sekali tidak menunjukkan gelagat nakal seperti teman-temannya yang mulai menyoba-nyoba kenakalan ringan. Bahkan merokok pun sejauh ini aku belum pernah menemukan dirinya mengepulkan asap ke udara. Memang menimbulkan banyak tanya ketika sosok dirinya yang sesungguhnya muncul ke permukaan. “Jadi selama ini kamu enggak tau apa kebiasaan ia?”, pertanyaan yang silih berganti dihadapkan padaku. Aku memang kekasihnya, namun  aku tidak mengenali sesungguhnya.
***
Malam sekitar pukul 20.00 WIB aku menerima kabar dari temanku yang saat itu sedang hunting di pusat perbelanjaan. “Ning, aku melihat Rean bersama seorang perempuan paruh tua”. Aku menduga baik pada saat mendengar kabar itu melalui ponsel. Ah mungkin ia sedang menemani tantenya. Sehari setelah itu, temanku yang berbeda juga mendapati Rean berada di restoran sedang menyantap bersama yang katanya dengan sosok yang sama dengan yang kemarin temanku katakan. Ah barangkali ia sedang menghibur tantenya.
            Selama aku menerima beragam kabar yang serupa, sesaat aku berfikir untuk membuktikan kebenaran kabar-kabar itu. “Apa benar yang di sampaikan Nina kemarin ya?”,  lirihku bertanya-tanya. Persis pada kabar yang kesekian kali aku terima, aku putuskan untuk malam itu langsung mengcek ia berada.
            Sebersit niat untuk membuktikan keberadaan Rean di dahului oleh kabar jelas yang dibawa oleh beberapa polisi yang mengetuk rumahku. Malam pilu yang menghentakkan kegetiran aku dan keluarga. Namaku di bawa-bawa sebagai kekasih Rean. Yang dengan itu aku pun ditenggarai mengetahui perihal kepribadian Rean. Aku bingung pada kondisi yang memojokkan seperti itu. Rean menggeramkan jiwa ragaku. Rean menimbulkan luka dalam di relung-relung hatiku. Ku tatap wajah Rean yang menunduk. Secercah kasih sayang baginya tak lagi ada. Aku terbohongi oleh sikapnya selama ini. Menyangka kebaikan-kebaikan yang sesungguhnya ia lakukan adalah lahir dari ketulusan semata. Namun terbukti semua dibalik rasa simpatik  yang palsu, rasa  cinta yang munafik, dan kedewasaan yang ia rekayasa.
            Sesungguhnya Rean tidak bisa disalahkan sepenuhnya. Ia menjadi seperti itu karena kondisi yang menghendaki dirinya untuk bisa menafkahi hidup adik-adiknya yang masih kecil. Rean bertahan dengan strategi yang salah. Aku pikir dengan ia menjadi kekasihku, aku bisa sedikit melepaskan kebingungan dirinya mencukupi kebutuhan keluarganya sehari-hari. Nyatanya justru tidak. Rean terbuai dengan kemewahan yang ia peroleh dari kondisi yang ia jalani berbarengan dengan jalinan kisah cintaku dengannya.
***
Entah aku harus bersikap seperti apa? Haruskah aku mengasihinya bukan lagi sebagai kekasihnya? Apakah aku yang salah selama ini? Pertanyaan-pertanyaan itu yang mengepungku di ruang persidangan kasus keterlibatan Rean dengan sejumlah skandal. Kegalauan yang meracau di batin, tertahan terucap dan menjadi-jadi. Aku tak sanggup menjalani hidup.
“Saudari Ningsih Kemuning, benarkah Anda kekasih Rean Laksana?”, tanya di persidangan. Aku mengangguk. “Apakah Saudara pernah bertemu atau sudah mengenal Nyonya AN?”. Aku menggeleng, bersuara kecil tanpa tenaga “Tidak mengenal dan tidak pernah bertemu”. Rean duduk dikursi terdakwa. Menunggu eksekusi berikutnya.
Apa pun keputusan pengadilan itulah yang terbaik. Rean, kau tidak lagi rupawan di mataku. Kau tidak lagi sosok berharga bagiku. Rean, kejenuhanku justru bukan pada kekurangan yang ada padamu. Aku menerima sepenuhnya yang ada padamu pada waktu yang tidak saat ku tahu kau sesungguhnya mengingkari kesetianku.
Selesai persidangan barulah terungkap semua yang selama ini Rean sembunyikan padaku. Kesimpulanku tentang Rean tidak memutuskan kehendak batinku untuk tidak mencela kealpaan ia, untuk tidak membenci ia dan lebih pada memaklumi ia sebagai manusia biasa yang tak luput dari kesalahan. “Maafkan aku sih, aku terpaksa berpura-pura mencintai tante Anita. Aku terpaksa menaruh kemeseraan padanya. Aku tahu ini salah, tapi aku tidak bisa meninggalkan kewajiban memenuhi kebutuhan hidup keluarga. Aku butuh banyak biaya sih. Aku sengaja menutupi penyakit akutku dan tidak memberitahumu. Aku tidak ingin menambah beban bagi orang lain. Aku bisa mandiri. Saat keterpepetan itulah aku mengenal tante Anita dan ia sangat baik padaku. Anggapanku dengan menjadi kekasihnya adalah kesalahan yang baru aku sesali sih. Maafkan aku sih telah mengingkari janji setia kita”.
***
Seminggu tanpa kehadiranya, aku mulai terbiasa. Sebulan tanpa suaranya hatiku juga tidak merana. Sampai pada hitungan enam bulan ia mendekam di lembaga permasyarakatan. Aku sudah bisa menghapus kenangan-kenangan bersamanya. Terakhir aku menjenguk Rean, matanya selalu berkaca-kaca. Lisannya lebih banyak tertutup dan beberapa kali mengurai air mata. Kesedihan kah yang ia pendam selama berada di dalam jeruji? Aku menangkap pesan terakhir Rean meski mulutnya lagi-lagi tak bergerak. Bahasa kalbu aku dengannya masih sama seperti dulu.

Ada semacam penyesalan yang bagiku tidak patut untuk diratapi. Aku menyesal salah menelisik kepribadian orang melalui perbuatan-perbuatan baik yang aku nilai sungguh kebaikan yang murni. Untuk yang pertama dan yang terakhir, Rean telah menjadi guru terindah dalam hidupku. Biarlah kisah cintaku dengannya nanti menjadi sebuah cerita panjang bagi anak-anakku kelak yang ku kemas agar mereka tidak menyangka awal bahwa akulah yang mengalami hal itu. Bukan karena malu untuk mengakuinya, namun lebih karena aku menjaga rapat-rapat agar metafora kenangan itu tidak lagi menyulutkan kesedihanku, dua tahun yang lalu.                                                               Bekasi, 15 Maret 2013

No comments: