Saturday, December 14, 2013

Ganbatte

GANBATTE

Cerpen Bagus Setyoko Purwo

Empat musim aku berada dalam dekapanmu. Empat musim yang terakhirlah lisanku menggetarkan batinmu, Shouta.

Cerita fuyu (musim dingin) berkisah yang berbeda dengan kisah natsu (musim panas). Cerita berseri ketika aki (musim gugur) tidak serupa piluh kisah haru (musim semi). Musim-musim yang bergulir membawaku pada suatu penantian yang mengharukan. Pengharapan yang sengaja aku tunda demi kejelasan semua yang ia berikan padaku selama empat musim dalam perjalanan tahun yang tidak sedikit pun aku catat. Dengan begitu tidak pula aku melupakan semua yang telah terjadi bersamanya.
***
Angin utara yang bertiup kencang sejak awal Desember menandai musim dingin tiba. Tak lama setelah itu, di hari-hari pada awal tahun setelah shogatsu[1] yang merupakan perayaan secara nasional menjadi sampul Negara Jepang, sisa-sisa hidangan toshikoshi soba masih tercium bercampur aroma salju yang sejak malam menghujani bumi yang turut menutupi jalan. Terpaan hujan salju memenuhi rasa dingin yang menjalar ke sekujur tubuh. Gemeretak ujung-ujung gigi akibat dingin yang tidak terkira memungkinkan keengganan untuk keluar rumah. “Di kabarkan badai salju melanda Hokkaido”, terdengar sayup-sayup berita yang menembus kesetengahsadaranku di pembaringan.  Sementara suara ambulans menembus dinding-dinding rumah. Biasanya akan lebih banyak lagi accident yang terjadi disepanjang hujan salju. Bukan hanya bagi pengendara kendaraan roda empat saja, mereka yang  mengendarai sepedah atau berjalan kaki akan banyak mengalami kondisi jalanan yang licin serta sudah tidak dapat dibedakan lagi mana jalan untuk kendaraan dan mana jalan khusus pejalan.
Malas rasanya untuk memulai aktivitas. Apalagi dengan suhu yang sedingin musim ini. Musim yang sebenarnya sangat tidak aku harapkan. “Kenapa mesti bertepatan dengan musim ini?”, gerutuku sambil memandang ke luar jendela. Bulan ini salju turun perlahan memasuki awal Januari. Melalui sutobo[2] yang terletak membelakangi tubuhku merayap menghangatkan ke seluruh penjuru ruangan. Sementara kedua kakiku bertengger di atas kotatsu[3]. Yang dengan begitu, turunnya salju yang bergelimangan di atap-atap rumah, apartemen-apartemen, gedung-gedung atau di banyak tempat yang padat tidak menghambat laju aktivitas seperti biasa. Beruntung hari ini bertepatan dengan hari libur nasional.
Seijin Nohi[4], tidak kurasakan sebagaimana perayaan yang menggembirakan hatiku. Mestinya aku senang merayakan usia kedewasaan yang ke-20 tahun. Usia yang mulai berusaha hidup mandiri dan bertanggung jawab atas apa pun yang diperbuat. Sudah saatnya aku menentukan tujuan hidup. Sudah saatnya pula aku meninggalkan semua kesenangan yang menghambur-hamburkan uang dan menyia-nyiakan kesempatan. Mungkin karena itulah yang membuat hatiku gusar.
            “Jika kamu mau bersamaku menghadiri perayaan Seijin Nohi, aku akan menjemput kamu segera”, pesan masuk yang aku baca beberapa saat sebelum aku putuskan untuk pergi bersama Yua. “Baik, aku tunggu kedatanganmu, Yua”, balasku dengan rasa yakin untuk menghadiri perayaan itu. Bagaimanapun juga perayaan Seijin Nohi adalah bagian dari doa yang tidak bisa aku tinggalkan. Apalagi secara legal aku sudah disetarakan serta mendapatkan hak dan kewajiban sebagai warga Negara.
            Yua terlihat anggun mengenakan kimono. Dengan paduan warna coklat bergaris nampak berbeda ia dari yang biasanya. Tersipuh malu terpancar dari ronah-ronah wajahnya ketika aku tatap dengan keseluruhan yang memencar ke bagian-bagian tubuh yang ia kenakan dengan kimono baru. “Sudahlah jangan kau pandangi aku begitu, Hina”. “Aku bukan gadis yang semolek kau”, lepas tawanya bersamaku.
            Hembusan angin yang bertabur salju melengkapi perjalanan kita menuju tempat perayaan. “Kau sudah tahu tempatnya?”, tanyaku pada Yua. “Kita ikuti saja mereka yang berjalan di depan kita itu, Hina. Pasti mereka juga menghadiri perayaan itu”. Di sepanjang jalan yang terhampar timbunan salju para pejalan mengatur laju langkah mereka seakan langkah-langkah mereka menyapu salju yang menghalau kecepatan berjalan mereka. Aku rasa bagi orang asing yang belum sama sekali mengalami kondisi ini akan dibuat payah menempuh perjalanan seperti ini. Orang-orang Jepang pun akan berujar kepada orang-orang asing “Taihen Desune Ganbatte[5] Dan tidak itu saja, kita sebagai sesama pejalan akan memberitahukan perihal kondisi jalan yang telah kita lalui pada mereka yang baru akan menuju jalan yang telah kita lewati. Sebab dengan begitu mengurangi kecelakan yang terjadi selama musim salju. Anak-anak kecil yang didampingi orangtua juga ikut berjalan dengan sangat hati-hati. Karena keceroboan sedikit saja bisa menimbulkan kecelakan yang tidak diharapkan.
            Tempat perayaan yang dimaksud oleh Yua ternyata sebuah kantor pemerintahan yang tidak terlalu besar. Perayaan ini akan dibuka oleh pejabat pemerintahan setempat. Tak tahu banyak acara apa saja yang akan segera berlangsung. Aku dan Yua sudah mengambil posisi terdepan. “Kita dibarisan pertama saja ya”, ajaknya. “Kau sungguh-sungguh Yua”, tatapku. “Sudah kau ikuti saja aku”, bisiknya.
            Ohayoo gozaimasu[6], Nihon e yookoso irasshaimashita[7].Tuan Harito membuka sambutan. Tak terkecuali bagi orang-orang asing yang diperkenankan untuk menghadiri acara tersebut. Dengan pancaran yang elegan Tuan Harito mengawali orasinya; “Bagi kaum muda yang sudah memasuki usia 20 tahun. Usia yang dewasa di awali dengan perencanaan yang terarah. Tentu kita sebagai orang-orang Jepang memahami konsep kaizen[8]. Konsep tersebut terbukti besar membawa bangsa kita berada dalam posisi yang selalu diperhitungkan oleh negara-negara lain. Bukti itu sudah cukup menjawab bahwa kegelisahan kaum muda yang berada dalam usia 20 tahun tidak perlu dipersoalkan lagi”, semangat Tuan Harito dipertengahan sambutan. Gerimis salju terlihat sebagai pemandangan yang menjadi latar sosok Tuan Harito yang sedang bergemuruh semangat. Kaum muda perempuan yang berpakaian kimono antusias menanggapi orasi Tuan Harito. Sementara kaum pria yang mengenakan yukata (kimono pria) tertunduk tanpa sesekali membalas tatapan Tuan Harito. Lanjutnya “Apa-apa yang sudah anda rencanakan, tanpa ada kelanjutan proses dari perencana itu, maka pasti bernilai sia-sia”. Aplous para hadirin. “Kemudian, kegagalan-kegagalan yang terjadi pada anda, justru dengan kegagalan itu akan mendekatkan anda pada kesuksesan yang sebenarnya. Ingatlah pepatah kita Shippai wa seikoo no moto desu[9]”. “Penegasannya, ketika negeri kita dibumi hanguskan oleh sekutu, kala itu Sang Kaisar justru bersikap optimis dengan sisa-sisa yang masih bisa dijadikan tongak kebangkitan Negara Jepang. Kebangkitan negeri ini adalah karena keterbatasan sisa-sisa perang sekutu yang dioptimalkan”, tutup Tuan Harito diakhiri dengan membukukkan badan beberapa kali. Doomo arigatoo gozaimasu[10] Ohayoo gozaimasu
***
“Kau tentu tahu, aku sangat suka padanya. Aku kagum pada ketampanan dirinya. Bagaimana menurutmu, Hina”, tanyanya mengagetkan lamunanku. “Aku..aku..iya..iya..kalau kau memang suka ya sudah”, ujarku membuat ia tidak bersemangat. “Aku minta pendapatmu yang jelas Hina!”, tegasnya dengan mata yang melotot. “Emm…emm…eh itu dia yang kau maksud”. “Shouta” “Shouta”, lambaian tanganku seraya memanggilnya. Dengan mimik yang mempesona ia membalas senyum kita. “Ayolah, kau temani kita menghabisi sepaket makanan ini”, ajakku penuh rayu. Yua yang berada di sebelahku menaruh lirikan saat Shouta mengambil duduk di antara kita. Tanpa sepatah ungkapan pun yang meluncur dari mulut Yua. Sepertinya wajahnya mulai memerah. Dan sepertinya pula Shouta menyadari keanehan yang terjadi di meja kita. “Kau suka nasi kari juga rupanya”. “Aku bukan hanya suka, tapi dari tadi aku memang belum makan”, jawabnya polos sambil terus menghabisi nasi kari kita.
            “Kawaii[11]”, seru Yua. “Hei, kenapa kau baru bersuara”, ujarku membesarkan suara. “Aku sungguh tak kuat menatap dirinya”. “Apalagi untuk bercakap-cakap dengannya, bisa-bisa rontok semua sendi-sendiku”. Tidak terbiasa bagi wanita atau pria untuk mengekspresikan perasaan cinta mereka terhadap lawan jenis dengan bahasa cinta yang lantang. Begitulah yang terjadi pada Yua atas Shouta, pria yang telah lama ia kagumi karena tidak hanya ketampanan saja yang bersinar, tapi juga kekaguman Yua atas kepribadian Shouta yang menawan. Aishiteru bukan sepatah kata yang mudah untuk disampaikan pada orang yang dicintai.
            Di akhir perjalanan semester ketiga aku berada di Daigaku[12] sudah mulai terbiasa larut dalam dunia akademis. Mengejar ketertinggalan materi. Menyelesaikan tumpukan tugas yang tidak menyusut-menyusut per semesternya. Termasuk fase keremajaan yang melanda psikologiku dalam memahami setiap pergantian peristiwa. Aktivitasku secara rutin memang lebih banyak bergelut dalam dunia aksara dan itu tidak membuat aku merasa jenuh. Tanpa merasakan betapa perjuangan dari awal begitu melelahkan, lintasan-lintasan ketidaksanggupan menempuh masa study selalu saja mengganggu semangat belajarku.
            . Pada permulaan haru, udara masih terasa lembab, dingin. Buah plum, chery dan azalea blossom menjadi pemandangan natural yang bermekaran di seluruh wilayah Jepang. Aku merindukan taburan sakura di musim semi. Di Okinawa kabarnya bunga sakura sudah mulai bermekaran. Shouta suka sekali menyusun aksara berbahan bunga sakura yang rontok dari dahan. Aku ingat betapa ia sering meracau ketika mendekati pergantian musim menuju haru. “Keindahan bunga sakura sebanding dengan keindahanmu”, godanya sambil tetap menyusun helaian bunga yang jatuh.
            Suhu sudah mencapai 12 sampai 20 derajat celcius. Artinya dengan kondisi suhu kisaran itu masih memungkinkan untuk bertamasya ke beberapa tempat sebelum tiba tahun ajaran baru, yang tinggal beberapa minggu ini. Lagi  pula cuaca mendukung. Tiga hari setelah memasuki bulan Maret perayaan Hinamatsuri[13], Yua mengajakku bertamasya ke Osaka. “Aku ingin berpose di Universal Studios Japan” memelas ia padaku. “Apa jauh-jauh ke sana hanya untuk berpose saja, kau!”, kataku agak meninggi. “Ayolah Hina, kau mau kan bertamasya bersama”, suaranya terdengar layu penuh harap. Melalui cela-cela ponsel ku goda ajakan ia dengan keikutsertaan Shouta. “Bagaimana, Yua, kau setuju?”. Ia diam sebentar, lantas menyambar dengan suara nyaring “Setuju!”.  “Kapan?”, tanyanya semangat. Hening sekian detik, aku berujar “Liburan akhir tahun ini”. Yua tak bersemangat merespon jawabanku.
***
            Shouta, pria yang lebih tinggi 5 sentimenter dari tubuhku ternyata penuh warna yang mengejutkan di setiap aku bersamanya. Dia berkepribadian dingin dengan suara yang menaik ketika membicarakan hal-hal yang menyentuh sisi maskulinitas kaum pria. Sisi lain dari itu, ia ternyata menguasai pembuatan masakan-masakan Jepang dengan sensasi yang menggoyangkan citra rasa yang mecandu. Sekepal onigiri yang umumnya berisi olahan kacang merah, tuna dan daging, ia modifikasi bentuknya serta komposisi bahan-bahan pendukung sehingga tidak berbentuk sebagaimana onigiri  yang biasa dijual di tempat-tempat umum. Tidak itu saja, aku mengakui kelezatan tangan dinginnya meracik Okonomiyaki, Nikujyaga, Nabe. Mungkin itulah letak istimewa dari sosok Shouta yang tak hanya rupawan.
            Shouta seperti membuntuti aku. Ia tahu betul tempat-tempat favoritku selepas kuliah. Ia juga mengerti letak-letak kejenuhan yang melandaku dan seketika aja ia hadir bak melerai aku dari kepenatan yang menempel di tubuh. Saat lapar mengguncangkan lambung ia hadirkan di sisiku sebuah crispy melon pan. Sebuah roti bermotif melon dengan taste yang mengetarkan lidahku. Lalu segelas orange jus ia tuangkan bersamaan dengan cerita-cerita jenaka dengan ekspresi yang mengesankan.
“Shouta, bagaimanapun juga aku merasa tidak nyaman dengan sikapmu yang seperti ini”. “Aku bisa memahami kejolak rasa cinta Yua padamu”. “Aku ingin kita tidak lebih dari sekedar pertemanan saja”, ungkapku dihadapannya.
            Umurku dengannya hanya terpaut beberapa bulan saja, lebih dahulu ia. Mungkin juga karena setara usia yang menyebabkan aku tidak menaruh rasa apa pun padanya. Tapi ia tetap bersikukuh ingin lebih dari sekedar yang aku harapkan. Aku hargai keinginannya mempunyai relasi emosional yang bukan sekedar pertemanan. “Aku tidak bisa”.
            Shouta memapah tubuhku yang rapuh. Melalui kedua tangannya yang tangkas diletakkannya kedua tanganku melingkari lehernya, yang waktu itu salju sungguh membuat kondisiku bertambah buruk. Aku tak kuat bertahan. Untuk membuka kedua mata terasa begitu berat. Seperti sebongkah batu es menindih sepasang kelopak mata. “Kau pasti bisa bertahan”, kata-kata itu masih suka berdengung saat musim salju berlangsung. “Hina, dikit lagi kita sampai”. Sedikit aku bisa terima kata-kata yang meluncur dari mulutnya. Ia antarkan aku ke suatu tempat yang beberapa saat setelah itu aku siuman dan aku dapati Shouta sedang meniup-niup kare yang mengepulkan uap-uap panas di sebuah mangkok. Seketika Shouta menjadi selimut yang berjalan bagi jasadku. Bara-bara kehangatan Shouta mencairkan kebekuan aliran darah tubuku. Shouta menjadi pahlawan dalam hidupku, kala itu.
            Tentang Hina, aku  sama sekali tidak bermaksud untuk mencuri perhatian idolanya. Aku tahu resiko yang bakal terungkap setelah ia begitu sering mendapati aku sedang bersama Shouta. Antara aku dan Shouta memang tidak terjadi pertukaran kimiawi asmara. Tidak sama sekali. “Kau suka ya dengan Shouta?”, tanyanya suatu hari. “Aku sama sekali tidak yang seperti kau tanyakan itu Yua”, jawabku diplomatis. “Buktinya kau selalu bersama ia. Bahkan apa pun yang terjadi di antara kalian berdua, pasti aku selalu menemui kalian berdua, salah satunya”. “Terus terang saja padaku”, ungkapnya melemah. Aku genggam kedua tangannya, aku letakkan di ujung permukaan jantungku. “Kau boleh menghentikan detak jantungku manakala kau tahu bahwa jantungku berdegup cepat karena mencintainya. Sebab luapan cinta membuat jantung berderu lebih dari yang kau rasakan pada jantungku ini”. Aku yakinkan dirinya dengan luapan tatap mata yang menembus relung-relung batinnya.
***
Saat musim gugur menyapa, udara berhembus dengan kehangatan yang merambat ke seluruh lapisan Jepang. Suasana yang tercipta adalah kompetisi pekan olah raga atau festival kampus. Undokai[14] yang berlangsung adalah olah raga ringan yang dilakukan di setiap lembaga pendidikan formal. Dalam acara tersebut aku termasuk formasi kepanitian yang tentunya juga bersama dengan Shouta. Berkali-kali aku beradu pandang dengannya. Dan bekali-kali pula kita tertawa bila diantara kita kalah memfokuskan pandangan tanpa kedipan mata. Entah bagaimana mulanya, aku bisa terkilir di salah satu tumpuan kaki ketika menjadi barisan team tarik tambang yang mempertandingkan antara kedua kelompok panitia. Menjerit panjang saat jari jemari Shouta melumuri cairan peredam sakit ke bagian kakiku yang terkilir. “Pelan…aduh…aduh..”, rintihku. Diulanginya lagi lumuran cairan itu olehnya. Meskipun dengan sentuhan yang lembut, namun tetap saja rasa nyeri memekik. “Bagaimana dengan kakimu?”, Shouta menghampiriku di ruang panitia. “Masih terasa nyeri”. “Terima kasih, kau selalu saja menolongku di saat-saat aku lemah. Menjorong badannya menghadapku, ia raih tangan kananku dengan hati-hati. “Aku ingin kau tahu Hina”. “Upst, aku mengganggu kalian”, Yua kaget melihat Shouta memegang tanganku. “Hina, tunggu, kau salah paham!”, teriakku berusaha membangkitkan tubuh. Aku jatuh tak berdaya mencoba bangun. “Tak perlu kau hiraukan ia”, ujar Shouta menahan tubuhku yang berusaha bangkit.
***
Pertengahan bulan Juli, kilau cahaya matahari bersuhu mencapai 30 derajat celcius. Lamanya musim panas ini tidak menentu pada beberapa daerah. Temperatur yang tinggi menyebabkan ketidaknyamanan dalam beraktivitas. Sebagian orang yang mempunyai uang berlimpah memilih untuk berpergian ke tempat-tempat dengan letak dataran tinggi yang bersuhu sejuk, seperti di Hokkaido.
Musim panas adalah musim libur terlama sepanjang tahun. Tepat sekali rasanya bagiku untuk mengisi liburan panjang ini sebagai rehat yang sama sekali terbebas dari aktivitas akademis. Aku inginkan tempat yang mengesankan, lebih dari tempat-tempat yang kerap kali aku kunjungi. Ingin menyaksikan hanabi[15]dengan siapa aku bisa menonton ribuan kembang api meledak-ledak di angkasa? Ingin ikut meramaikan tanabata[16] apa yang mesti aku tuliskan di atas kertas warna-warni itu saat situasi batinku mengalami dilema. Aku serba salah dalam posisi ini. Kenapa tidak sejak dulu aku menghindari Shouta demi persahabatanku dengan Yua. ”Kau tak salah, Hina”, suara dari belakang menembus isi hatiku. “Yua, maafkan aku selama ini”, pelukku erat. “Tak perlu ada yang disesali”, balasnya. “Apakah kau tahu dimana Shouta saat ini?”, tanyanya padaku dengan sorot mata penuh tahu.
***
Shouta memutuskan untuk pergi meninggalkan semua kenangan yang terjadi bersamaku. Ia sadar bahwa rasa simpatik yang berbuah kasih sayang tertahan untuk diberikan secara nyata kepadaku. Pada perjumpaan yang terakhir dengannya, aku tak menyesali tidak memberikan harapan penuh padanya. Bukan karena sahabatku telah lama mencintai dirinya. Pilihan yang tepat untuk keputusan yang aku sampaikan melalui kelembutan rasa adalah untuk tidak menyanggupi menjadi kekasihnya. Tidak menjadi wanita pilihan pertama yang ia cintai. Sebab apa yang melatari penolakanku atasnya adalah semata-mata demi masa depanku. Yang ia pun aku rasa tak sadar acap kali membuat aku tersadar akan buaian-buaian masa muda. “Ganbatte” “Ganbatte” aku terkesan padanya.


[1] Tahun Baru
[2] Alat pemanas ruangan
[3] Meja pemanas kaki
[4] Hari mencapai usia dewasa – usia 20 tahun                 
[5] Berat ya, tapi semangat ya
[6] Selamat Pagi
[7] Selamat datang di Jepang
[8] Perbaikan secara berkesinambungan
[9] Kegagalan adalah pangkal kesuksesan
[10] Terima kasih banyak (ungkapan secara formal)
[11] Tampan
[12] Universitas
[13] perayaan khusus untuk anak perempuan
[14] Pekan olahraga
[15] Festival kembang api
[16] Festival bintang

No comments: