GANBATTE
Cerpen Bagus
Setyoko Purwo
Empat musim aku berada
dalam dekapanmu. Empat musim yang terakhirlah lisanku menggetarkan batinmu, Shouta.
Cerita fuyu
(musim dingin) berkisah yang berbeda dengan kisah natsu (musim panas). Cerita berseri ketika aki (musim gugur) tidak serupa piluh kisah haru (musim semi). Musim-musim yang bergulir membawaku pada suatu
penantian yang mengharukan. Pengharapan yang sengaja aku tunda demi kejelasan
semua yang ia berikan padaku selama empat musim dalam perjalanan tahun yang
tidak sedikit pun aku catat. Dengan begitu tidak pula aku melupakan semua yang
telah terjadi bersamanya.
***
Angin utara yang bertiup kencang sejak awal Desember
menandai musim dingin tiba. Tak lama setelah itu, di hari-hari pada awal tahun
setelah shogatsu[1]
yang merupakan perayaan secara nasional menjadi sampul Negara Jepang,
sisa-sisa hidangan toshikoshi soba masih
tercium bercampur aroma salju yang sejak malam menghujani bumi yang turut menutupi
jalan. Terpaan hujan salju memenuhi rasa dingin yang menjalar ke sekujur tubuh.
Gemeretak ujung-ujung gigi akibat dingin yang tidak terkira memungkinkan
keengganan untuk keluar rumah. “Di kabarkan badai salju melanda Hokkaido”,
terdengar sayup-sayup berita yang menembus kesetengahsadaranku di pembaringan. Sementara suara ambulans menembus
dinding-dinding rumah. Biasanya akan lebih banyak lagi accident yang terjadi disepanjang hujan salju. Bukan hanya bagi
pengendara kendaraan roda empat saja, mereka yang mengendarai sepedah atau berjalan kaki akan
banyak mengalami kondisi jalanan yang licin serta sudah tidak dapat dibedakan
lagi mana jalan untuk kendaraan dan mana jalan khusus pejalan.
Malas rasanya untuk memulai aktivitas. Apalagi dengan
suhu yang sedingin musim ini. Musim yang sebenarnya sangat tidak aku harapkan.
“Kenapa mesti bertepatan dengan musim ini?”, gerutuku sambil memandang ke luar
jendela. Bulan ini salju turun perlahan memasuki awal Januari. Melalui sutobo[2]
yang terletak membelakangi tubuhku merayap menghangatkan ke seluruh penjuru
ruangan. Sementara kedua kakiku bertengger di atas kotatsu[3]. Yang dengan
begitu, turunnya salju yang bergelimangan di atap-atap rumah,
apartemen-apartemen, gedung-gedung atau di banyak tempat yang padat tidak
menghambat laju aktivitas seperti biasa. Beruntung hari ini bertepatan dengan
hari libur nasional.
Seijin Nohi[4],
tidak kurasakan sebagaimana perayaan yang menggembirakan hatiku. Mestinya aku
senang merayakan usia kedewasaan yang ke-20 tahun. Usia yang mulai berusaha
hidup mandiri dan bertanggung jawab atas apa pun yang diperbuat. Sudah saatnya
aku menentukan tujuan hidup. Sudah saatnya pula aku meninggalkan semua
kesenangan yang menghambur-hamburkan uang dan menyia-nyiakan kesempatan. Mungkin
karena itulah yang membuat hatiku gusar.
“Jika
kamu mau bersamaku menghadiri perayaan Seijin
Nohi, aku akan menjemput kamu segera”, pesan masuk yang aku baca beberapa
saat sebelum aku putuskan untuk pergi bersama Yua. “Baik, aku tunggu
kedatanganmu, Yua”, balasku dengan rasa yakin untuk menghadiri perayaan itu. Bagaimanapun
juga perayaan Seijin Nohi adalah bagian dari doa yang tidak
bisa aku tinggalkan. Apalagi secara legal aku sudah disetarakan serta
mendapatkan hak dan kewajiban sebagai warga Negara.
Yua terlihat
anggun mengenakan kimono. Dengan paduan warna coklat bergaris nampak berbeda ia
dari yang biasanya. Tersipuh malu terpancar dari ronah-ronah wajahnya ketika
aku tatap dengan keseluruhan yang memencar ke bagian-bagian tubuh yang ia
kenakan dengan kimono baru. “Sudahlah jangan kau pandangi aku begitu, Hina”.
“Aku bukan gadis yang semolek kau”, lepas tawanya bersamaku.
Hembusan
angin yang bertabur salju melengkapi perjalanan kita menuju tempat perayaan.
“Kau sudah tahu tempatnya?”, tanyaku pada Yua. “Kita ikuti saja mereka yang
berjalan di depan kita itu, Hina. Pasti mereka juga menghadiri perayaan itu”.
Di sepanjang jalan yang terhampar timbunan salju para pejalan mengatur laju
langkah mereka seakan langkah-langkah mereka menyapu salju yang menghalau
kecepatan berjalan mereka. Aku rasa bagi orang asing yang belum sama sekali
mengalami kondisi ini akan dibuat payah menempuh perjalanan seperti ini. Orang-orang
Jepang pun akan berujar kepada orang-orang asing “Taihen Desune Ganbatte[5]” Dan tidak itu saja, kita sebagai sesama pejalan akan
memberitahukan perihal kondisi jalan yang telah kita lalui pada mereka yang
baru akan menuju jalan yang telah kita lewati. Sebab dengan begitu mengurangi
kecelakan yang terjadi selama musim salju. Anak-anak kecil yang didampingi
orangtua juga ikut berjalan dengan sangat hati-hati. Karena keceroboan sedikit
saja bisa menimbulkan kecelakan yang tidak diharapkan.
Tempat
perayaan yang dimaksud oleh Yua ternyata sebuah kantor pemerintahan yang tidak
terlalu besar. Perayaan ini akan dibuka oleh pejabat pemerintahan setempat. Tak
tahu banyak acara apa saja yang akan segera berlangsung. Aku dan Yua sudah
mengambil posisi terdepan. “Kita dibarisan pertama saja ya”, ajaknya. “Kau
sungguh-sungguh Yua”, tatapku. “Sudah kau ikuti saja aku”, bisiknya.
Ohayoo gozaimasu[6], Nihon e yookoso irasshaimashita[7].Tuan Harito membuka sambutan. Tak terkecuali bagi orang-orang asing yang
diperkenankan untuk menghadiri acara tersebut. Dengan pancaran yang elegan Tuan
Harito mengawali orasinya; “Bagi kaum
muda yang sudah memasuki usia 20 tahun. Usia yang dewasa di awali dengan
perencanaan yang terarah. Tentu kita sebagai orang-orang Jepang memahami konsep
kaizen[8].
Konsep tersebut terbukti besar membawa bangsa kita berada dalam posisi yang
selalu diperhitungkan oleh negara-negara lain. Bukti itu sudah cukup menjawab
bahwa kegelisahan kaum muda yang berada dalam usia 20 tahun tidak perlu
dipersoalkan lagi”, semangat Tuan Harito dipertengahan sambutan. Gerimis salju
terlihat sebagai pemandangan yang menjadi latar sosok Tuan Harito yang sedang bergemuruh
semangat. Kaum muda perempuan yang berpakaian kimono antusias menanggapi orasi Tuan Harito. Sementara kaum pria
yang mengenakan yukata (kimono pria)
tertunduk tanpa sesekali membalas tatapan Tuan Harito. Lanjutnya “Apa-apa yang
sudah anda rencanakan, tanpa ada kelanjutan proses dari perencana itu, maka
pasti bernilai sia-sia”. Aplous para hadirin. “Kemudian, kegagalan-kegagalan
yang terjadi pada anda, justru dengan kegagalan itu akan mendekatkan anda pada
kesuksesan yang sebenarnya. Ingatlah pepatah kita Shippai wa seikoo no moto desu[9]”. “Penegasannya, ketika negeri kita dibumi hanguskan
oleh sekutu, kala itu Sang Kaisar justru bersikap optimis dengan sisa-sisa yang
masih bisa dijadikan tongak kebangkitan Negara Jepang. Kebangkitan negeri ini
adalah karena keterbatasan sisa-sisa perang sekutu yang dioptimalkan”, tutup
Tuan Harito diakhiri dengan membukukkan badan beberapa kali. Doomo arigatoo gozaimasu[10] Ohayoo gozaimasu
***
“Kau tentu tahu, aku sangat suka padanya. Aku kagum
pada ketampanan dirinya. Bagaimana menurutmu, Hina”, tanyanya mengagetkan
lamunanku. “Aku..aku..iya..iya..kalau kau memang suka ya sudah”, ujarku membuat
ia tidak bersemangat. “Aku minta pendapatmu yang jelas Hina!”, tegasnya dengan
mata yang melotot. “Emm…emm…eh itu dia yang kau maksud”. “Shouta” “Shouta”,
lambaian tanganku seraya memanggilnya. Dengan mimik yang mempesona ia membalas
senyum kita. “Ayolah, kau temani kita menghabisi sepaket makanan ini”, ajakku
penuh rayu. Yua yang berada di sebelahku menaruh lirikan saat Shouta mengambil
duduk di antara kita. Tanpa sepatah ungkapan pun yang meluncur dari mulut Yua.
Sepertinya wajahnya mulai memerah. Dan sepertinya pula Shouta menyadari
keanehan yang terjadi di meja kita. “Kau suka nasi kari juga rupanya”. “Aku
bukan hanya suka, tapi dari tadi aku memang belum makan”, jawabnya polos sambil
terus menghabisi nasi kari kita.
“Kawaii[11]”, seru Yua. “Hei, kenapa kau baru bersuara”, ujarku membesarkan
suara. “Aku sungguh tak kuat menatap dirinya”. “Apalagi untuk bercakap-cakap
dengannya, bisa-bisa rontok semua sendi-sendiku”. Tidak terbiasa bagi wanita
atau pria untuk mengekspresikan perasaan cinta mereka terhadap lawan jenis
dengan bahasa cinta yang lantang. Begitulah yang terjadi pada Yua atas Shouta,
pria yang telah lama ia kagumi karena tidak hanya ketampanan saja yang bersinar,
tapi juga kekaguman Yua atas kepribadian Shouta yang menawan. Aishiteru bukan sepatah kata yang mudah untuk disampaikan pada
orang yang dicintai.
Di
akhir perjalanan semester ketiga aku berada di Daigaku[12] sudah mulai terbiasa larut dalam
dunia akademis. Mengejar ketertinggalan materi. Menyelesaikan tumpukan tugas
yang tidak menyusut-menyusut per semesternya. Termasuk fase keremajaan yang
melanda psikologiku dalam memahami setiap pergantian peristiwa. Aktivitasku
secara rutin memang lebih banyak bergelut dalam dunia aksara dan itu tidak
membuat aku merasa jenuh. Tanpa merasakan betapa perjuangan dari awal begitu
melelahkan, lintasan-lintasan ketidaksanggupan menempuh masa study selalu saja mengganggu semangat
belajarku.
.
Pada permulaan haru, udara masih
terasa lembab, dingin. Buah plum, chery dan azalea blossom menjadi pemandangan
natural yang bermekaran di seluruh wilayah Jepang. Aku merindukan taburan
sakura di musim semi. Di Okinawa kabarnya bunga sakura sudah mulai bermekaran.
Shouta suka sekali menyusun aksara berbahan bunga sakura yang rontok dari
dahan. Aku ingat betapa ia sering meracau ketika mendekati pergantian musim
menuju haru. “Keindahan bunga sakura
sebanding dengan keindahanmu”, godanya sambil tetap menyusun helaian bunga yang
jatuh.
Suhu
sudah mencapai 12 sampai 20 derajat celcius. Artinya dengan kondisi suhu
kisaran itu masih memungkinkan untuk bertamasya ke beberapa tempat sebelum tiba
tahun ajaran baru, yang tinggal beberapa minggu ini. Lagi pula cuaca mendukung. Tiga hari setelah
memasuki bulan Maret perayaan Hinamatsuri[13],
Yua mengajakku bertamasya ke Osaka. “Aku ingin berpose
di Universal Studios Japan” memelas ia
padaku. “Apa jauh-jauh ke sana hanya untuk berpose saja, kau!”, kataku agak
meninggi. “Ayolah Hina, kau mau kan bertamasya bersama”, suaranya terdengar
layu penuh harap. Melalui cela-cela ponsel ku goda ajakan ia dengan
keikutsertaan Shouta. “Bagaimana, Yua, kau setuju?”. Ia diam sebentar, lantas
menyambar dengan suara nyaring “Setuju!”. “Kapan?”, tanyanya semangat. Hening sekian
detik, aku berujar “Liburan akhir tahun ini”. Yua tak bersemangat merespon
jawabanku.
***
Shouta,
pria yang lebih tinggi 5 sentimenter dari tubuhku ternyata penuh warna yang
mengejutkan di setiap aku bersamanya. Dia berkepribadian dingin dengan suara
yang menaik ketika membicarakan hal-hal yang menyentuh sisi maskulinitas kaum
pria. Sisi lain dari itu, ia ternyata menguasai pembuatan masakan-masakan
Jepang dengan sensasi yang menggoyangkan citra rasa yang mecandu. Sekepal onigiri yang umumnya berisi olahan
kacang merah, tuna dan daging, ia modifikasi bentuknya serta komposisi
bahan-bahan pendukung sehingga tidak berbentuk sebagaimana onigiri yang biasa dijual di
tempat-tempat umum. Tidak itu saja, aku mengakui kelezatan tangan dinginnya meracik
Okonomiyaki, Nikujyaga, Nabe. Mungkin
itulah letak istimewa dari sosok Shouta yang tak hanya rupawan.
Shouta
seperti membuntuti aku. Ia tahu betul tempat-tempat favoritku selepas kuliah.
Ia juga mengerti letak-letak kejenuhan yang melandaku dan seketika aja ia hadir
bak melerai aku dari kepenatan yang menempel di tubuh. Saat lapar
mengguncangkan lambung ia hadirkan di sisiku sebuah crispy melon pan.
Sebuah roti bermotif melon dengan taste yang
mengetarkan lidahku. Lalu segelas orange
jus ia tuangkan bersamaan dengan cerita-cerita jenaka dengan ekspresi yang
mengesankan.
“Shouta,
bagaimanapun juga aku merasa tidak nyaman dengan sikapmu yang seperti ini”.
“Aku bisa memahami kejolak rasa cinta Yua padamu”. “Aku ingin kita tidak lebih
dari sekedar pertemanan saja”, ungkapku dihadapannya.
Umurku
dengannya hanya terpaut beberapa bulan saja, lebih dahulu ia. Mungkin juga
karena setara usia yang menyebabkan aku tidak menaruh rasa apa pun padanya.
Tapi ia tetap bersikukuh ingin lebih dari sekedar yang aku harapkan. Aku hargai
keinginannya mempunyai relasi emosional yang bukan sekedar pertemanan. “Aku
tidak bisa”.
Shouta
memapah tubuhku yang rapuh. Melalui kedua tangannya yang tangkas diletakkannya
kedua tanganku melingkari lehernya, yang waktu itu salju sungguh membuat
kondisiku bertambah buruk. Aku tak kuat bertahan. Untuk membuka kedua mata
terasa begitu berat. Seperti sebongkah batu es menindih sepasang kelopak mata.
“Kau pasti bisa bertahan”, kata-kata itu masih suka berdengung saat musim salju
berlangsung. “Hina, dikit lagi kita sampai”. Sedikit aku bisa terima kata-kata
yang meluncur dari mulutnya. Ia antarkan aku ke suatu tempat yang beberapa saat
setelah itu aku siuman dan aku dapati Shouta sedang meniup-niup kare yang
mengepulkan uap-uap panas di sebuah mangkok. Seketika Shouta menjadi selimut
yang berjalan bagi jasadku. Bara-bara kehangatan Shouta mencairkan kebekuan
aliran darah tubuku. Shouta menjadi pahlawan dalam hidupku, kala itu.
Tentang
Hina, aku sama sekali tidak bermaksud
untuk mencuri perhatian idolanya. Aku tahu resiko yang bakal terungkap setelah
ia begitu sering mendapati aku sedang bersama Shouta. Antara aku dan Shouta
memang tidak terjadi pertukaran kimiawi asmara. Tidak sama sekali. “Kau suka ya
dengan Shouta?”, tanyanya suatu hari. “Aku sama sekali tidak yang seperti kau
tanyakan itu Yua”, jawabku diplomatis. “Buktinya kau selalu bersama ia. Bahkan
apa pun yang terjadi di antara kalian berdua, pasti aku selalu menemui kalian
berdua, salah satunya”. “Terus terang saja padaku”, ungkapnya melemah. Aku
genggam kedua tangannya, aku letakkan di ujung permukaan jantungku. “Kau boleh
menghentikan detak jantungku manakala kau tahu bahwa jantungku berdegup cepat
karena mencintainya. Sebab luapan cinta membuat jantung berderu lebih dari yang
kau rasakan pada jantungku ini”. Aku yakinkan dirinya dengan luapan tatap mata
yang menembus relung-relung batinnya.
***
Saat musim
gugur menyapa, udara berhembus dengan kehangatan yang merambat ke seluruh
lapisan Jepang. Suasana yang tercipta adalah kompetisi pekan olah raga atau
festival kampus. Undokai[14] yang
berlangsung adalah olah raga ringan yang dilakukan di setiap lembaga pendidikan
formal. Dalam acara tersebut aku termasuk formasi kepanitian yang tentunya juga
bersama dengan Shouta. Berkali-kali aku beradu pandang dengannya. Dan
bekali-kali pula kita tertawa bila diantara kita kalah memfokuskan pandangan
tanpa kedipan mata. Entah bagaimana mulanya, aku bisa terkilir di salah satu
tumpuan kaki ketika menjadi barisan team tarik
tambang yang mempertandingkan antara kedua kelompok panitia. Menjerit panjang
saat jari jemari Shouta melumuri cairan peredam sakit ke bagian kakiku yang
terkilir. “Pelan…aduh…aduh..”, rintihku. Diulanginya lagi lumuran cairan itu
olehnya. Meskipun dengan sentuhan yang lembut, namun tetap saja rasa nyeri
memekik. “Bagaimana dengan kakimu?”, Shouta menghampiriku di ruang panitia. “Masih
terasa nyeri”. “Terima kasih, kau selalu saja menolongku di saat-saat aku
lemah. Menjorong badannya menghadapku, ia raih tangan kananku dengan hati-hati.
“Aku ingin kau tahu Hina”. “Upst, aku mengganggu kalian”, Yua kaget melihat
Shouta memegang tanganku. “Hina, tunggu, kau salah paham!”, teriakku berusaha
membangkitkan tubuh. Aku jatuh tak berdaya mencoba bangun. “Tak perlu kau
hiraukan ia”, ujar Shouta menahan tubuhku yang berusaha bangkit.
***
Pertengahan
bulan Juli, kilau cahaya matahari bersuhu mencapai 30 derajat celcius. Lamanya
musim panas ini tidak menentu pada beberapa daerah. Temperatur yang tinggi
menyebabkan ketidaknyamanan dalam beraktivitas. Sebagian orang yang mempunyai
uang berlimpah memilih untuk berpergian ke tempat-tempat dengan letak dataran
tinggi yang bersuhu sejuk, seperti di Hokkaido.
Musim panas
adalah musim libur terlama sepanjang tahun. Tepat sekali rasanya bagiku untuk
mengisi liburan panjang ini sebagai rehat yang sama sekali terbebas dari
aktivitas akademis. Aku inginkan tempat yang mengesankan, lebih dari
tempat-tempat yang kerap kali aku kunjungi. Ingin menyaksikan hanabi[15]dengan
siapa aku bisa menonton ribuan kembang api meledak-ledak di angkasa? Ingin ikut
meramaikan tanabata[16]
apa yang mesti aku tuliskan di atas kertas warna-warni itu saat situasi batinku
mengalami dilema. Aku serba salah dalam posisi ini. Kenapa tidak sejak dulu aku menghindari Shouta demi persahabatanku
dengan Yua. ”Kau tak salah, Hina”, suara dari belakang menembus isi hatiku.
“Yua, maafkan aku selama ini”, pelukku erat. “Tak perlu ada yang disesali”,
balasnya. “Apakah kau tahu dimana Shouta saat ini?”, tanyanya padaku dengan
sorot mata penuh tahu.
***
Shouta
memutuskan untuk pergi meninggalkan semua kenangan yang terjadi bersamaku. Ia
sadar bahwa rasa simpatik yang berbuah kasih sayang tertahan untuk diberikan
secara nyata kepadaku. Pada perjumpaan yang terakhir dengannya, aku tak
menyesali tidak memberikan harapan penuh padanya. Bukan karena sahabatku telah
lama mencintai dirinya. Pilihan yang tepat untuk keputusan yang aku sampaikan
melalui kelembutan rasa adalah untuk tidak menyanggupi menjadi kekasihnya. Tidak
menjadi wanita pilihan pertama yang ia cintai. Sebab apa yang melatari
penolakanku atasnya adalah semata-mata demi masa depanku. Yang ia pun aku rasa
tak sadar acap kali membuat aku tersadar akan buaian-buaian masa muda.
“Ganbatte” “Ganbatte” aku terkesan padanya.
No comments:
Post a Comment