Saturday, December 14, 2013

Ohayo…Ohayo

Ohayo…Ohayo
Cerpen Bagus Setyoko Purwo
Ohayo..ohayo, telah menjelma menjadi dirinya. Ohayo..ohayo, telah mewujudkan semua hal yang terlintas di benaknya. Ohayo..ohayo, sejak saat itu Kimiko tak sepatah ucapan yang keluar selain ohayo..ohayo, kala ia duka dan lara.
Ayah sering menyebut-nyebut namaku dalam doa yang beliau panjatkan di jinja[1]. Namaku beliau ulangi hingga tiga kali dan pada ucapan beliau yang terakhirlah jiwaku berguncang, tubuhku seakan ringan dan seketika aku guncang-guncangkan ke tanah – melampaui dari yang ayah panjatkan kepada Sang Dewa.
***
            Kelahiranku pada suatu pekat yang tak sedikit pun suara menggema, ayah masih tetap duduk menyilahkan kedua kakinya dengan kedua tangan yang terletak di permukaan lutut. Kedua mata ayah terpejam. Sunyi. Ayah memiliki tradisi yang berbeda dari orang-orang Jepang kala itu. Menurut beliau, ayah inginkan suatu ketika aku terlahir sebagai titisan dewa, manusia yang bila dewasa nanti tidak menimbulkan kesialan-kesialan personal atau interpersonal.
            Saat kelahiranku memecah kesunyian ayah masih berada di jinja. Tidak seorang pun yang mampu menemukan beliau pada saat itu. Dibawanya aku menuju jinja untuk mengikuti ritual upacara Omiya-mairi. Ayah memang patuh mengikuti serangkaian ritual khusus untukku. Pada saat aku berumur tiga tahun, dan meningkat berumur lima tahun sampai pada usia tujuh tahun, ayah tak pernah tidak menyertakan aku pada ritual Shichigosan[2] yang dilakukan di jinja. Sampai kini aku tak mengerti maksud apa ayah memperlakukan aku dengan ritual-ritual itu?
***
“Jangan kau ganggu ayahmu”, cegah ibu sebelum aku mengampiri beliau. “Ayahmu sedang kedatangan tamu”, tambahnya. “Mana tamunya bu?”, liriku penasaran. Nanti kau juga akan tahun. Tamu serupa apa yang bertandang ke rumah kami. Kata ibu tamu istimewa. Kalau tamu istimewa mengapa tidak ada kendaraan yang parkir di muka halaman. Mengapa juga rumahku tidak seramai rumah yang kedatangan tamu.
“Kimiko tunggu”, suara yang menyusup dari belakang pundakku. Okurete, sumimasen[3] Aku pandangi ia dengan wajah lelah sambil mengatur nafasnya.  Ia membukukkan badan berulang-ulang “Iie, daijoobu desu[4]”, balasku ringan.  “Watashi mo kita bakari desu [5]”, aku membuka pembicaraan dengannya. “Ini ada  undangan untuk kau”, sodornya padaku. “Jadi kau mau ikut perayaan bunkasai[6]”. “Tapi aku kan masih sekolah, apa boleh aku datang?” “Tidak ada batasan usia, Kimiko. Kau pasti terhibur”, katanya menyakinkan aku. “Ee[7]jawabku. “Arigatoo”, senyumnya.
Diperempatan jalan Kyoto, tikungan jalan kecil yang tidak dilalui kendaraan bermotor kami berjalan menuju perayaan bunkasai. Sepanjang jalan Kyoto memang terbebas dari lalu lalang kendaraan bermotor, tapi uniknya tidak ada satu pun para pejalan yang menerobos lampu merah yang menghentikan langkah-langkah para pejalan. Walaupun mereka tahu bahwa jalanan aman dari deruan kendaraan bermotor, tetap mereka patuh terhadap rambu-rambu yang ada. Kesadaran itulah yang membuat peraturan terjaga.
Aku sedang berada di jantungnya Jepang. Kota Tokyo yang menyenangkan dengan taburan pesona yang menawan. Para muda mudi yang berbusana modern hendak meramaikan perayaan budaya. Gadis-gadis yang mengenakan minisuka (rok pendek) sebentar-sebentar menghalau angin yang berhembus kencang dengan kedua tangan mereka karena minisuka  yang mereka kenakan terlalu pendek. Wajah-wajah mereka selintas bingung mengatasi agar jangan sampai terbuka di bagian tertentu. Di daerah Niigata busana itu memang sedang trend.
Harajuku yang aku kenakan sesuai perkembangan mode. Aku paham mana busana yang tepat dan busana yang tidak sepatutnya dikenakan pada moment-moment tertentu. Motif rambut yang tertata pun aku sesuaikan dengan paduan dominasi biru harajuku. Lain hal dengan Kiyori yang lebih sensasional menampakkan keseksian tubuhnya dengan mengenakan style gyaru. Kami sama-sama nyaman memilih busana sesuai kepribadian masing-masing.
Di tengah-tengah arus keramaian para pengunjung aku kehilangan Kiyori. Kiyori memisahkan diri tanpa sepengetahuanku. “Apa mungkin ia sedang bersama teman-temanya ya?”, batinku berucap. “Ah pasti ia akan mencariku nanti”. “Anoo... sumimasen[8]”, sapa pelan pria berpakaian ala Ninja. “Kimiko, chan desu ka[9]”, tanyanya. “Hai, soo desu[10]”, balasku menegakkan badan. Masih belum jelas siapakah pria itu. Aku tatap ia lekat-lekat. “Kau siapa?”. “Apa kita sebelumnya pernah berjumpa?”. “Aku sama sekali tidak mengenal kau”. “Kimiko ke sini”, teriak Kiyori melambai-lambaikan tangan kanannya. “Tak lama setelah ini kita akan berjumpa lagi, Kimiko”, kata pria berpakaian ninja itu.
“Kau ini, hati-hati bila bertutur sapa dengan pria. Kau tak takut jika ia hendak berbuat jahat padamu”. Tidak aku hiraukan ucapan Kiyori yang merocos. Siapakah pria itu sebenarnya.
***
Aku duduk di kelas koutou-gakkou[11]. Terdaftar sebagai siswa yang penuh sensasi yang memukau. Dalam hal perkembangan belajar, sejak aku berdiri di youchien[12] jiwa sosialku tumbuh tidak sebagaimana mayoritas anak-anak saat itu. Kebiasan-kebiasanku bahkan setara dengan kedisiplinan yang orang-orang dewasa terapkan. Tidak lagi menjadi kesulitan ibu untuk membiasakan aku hidup teratur bagi anak seusiaku yang terbilang nakal. Memasuki masa sekolah Shougakkou[13], selama enam tahun dengan tingkat kedisiplinan yang lebih tinggi aku dipacu untuk menguasai mata pelajaran-pelajaran yang berlaku sesuai kurikulum Jepang. Seperti Bahasa Jepang (kokugo), aritmatika (sansuu), IPA atau science (rika), kebiasaan hidup (seikatsu), musik (ongaku), menggambar dan kerajinan (zuga kousaku), perekonomian keluarga (katei), pendidikan fisik (taiiku), pendidikan moral (doutoku), studi lingkungan hidup, aktivitas khusus, dan studi terapan. Kesemuanya itu nyatanya semakin mempermudah aku menjangkau minatku yang dahulu selalu terbayang-bayang. Aku memang gemar mengkhayal.
Ohayo..ohayo..ohayo, telapak tanganku mengenai ujung alis dan tanpa memakan waktu lama aku sudah berada di Istana Hiroshima. Sebuah bangunan bersejarah di kota Hiroshima yang dibangun pada masa kekuasaan Mori Terumoto. Aku berjalan menyusuri aliran parit istana yang konon berasal dari sungai Hongawa. Penjelajahan yang kesekian ini aku lakukan setiap pulang sekolah. Aku menyukai dunia ini. Menjelajahi dunia hanya dengan melipat waktu. Seperti aku menyelesaikan origami – melipat kertas berwarna warni. Bedanya yang aku lipat adalah dimensi waktu. Aku tak perlu waktu lama untuk setiap kali kunjungan di setiap tempat. Dan tak lama pula aku kembali ke tempat semula. Ohayo…ohayo…ohayo, telapak tangaku kembali mengenai ujung alis dan aku tiba di tempat awal.
Awalnya aku tidak mengerti mengapa kata-kata ohayo..ohayo…ohayo yang bahkan menjadi celotehanku masa kecil menjadi semacam mantra magis saat aku beranjak dewasa. Inikah yang ayah katakan bahwa suatu ketika nanti aku akan dapat mudah menjelajahi dunia tanpa perlu bersusah-susah payah.
Ayah mengerti hal-hal supranatural. Ayah terlibat aktif dalam dimensi itu. Ayah juga selalu ku ketahui sedang melakukan upaya-upaya penyucian macam itu. “Tapi itu semua untuk apa ayah?” “Biarlah waktu yang memperkenalkan kau dengan semua yang selama ini kau lihat pada diri ayah”.
***
Ohayo…ohayo…ohayo telapak tanganku mengenai ujung alisku, sekejap aku berada di perguruan samurai. Bangunan klasik dengan tekstur yang beragam membuka mataku. Jadi yang selama ini aku lihat di buku-buku pelajaran ada di hadapanku. Menggoda keinginanku untuk bisa berlama-lama di tempat ini. “Awas”. Sebilah samurai hampir membelah leherku. “Siapa kau?”. “Mengapa kau bisa ada di sini?”, tanya prajurit samurai yang menyelamatkan aku tadi. “Aku Kimiko”. “Aku ingin melihat-lihat tempat ini”. “Bolehkan?”, tanyaku dengan senyum mengembang. “Aku tak bisa memutuskan”. “Biarlah kaisar yang memutuskan apakah kau boleh berada di sini atau tidak”, katanya.
Di tuntulah aku mengikuti prajurit itu. Menemui Sang Kaisar Samurai. Memasuki pintu besar yang berlapis tiga, Sang Kaisar duduk membelakangi kehadiran kami. “Oh rupanya kau datang juga”, ucap kaisar mengawali pembicaraan. Sedangkan sang prajurit belum sedikit pun berucap. “Aku sudah lama menanti kehadiran kau, Kimiko”. “Ayahmu sudah mengijinkan kau berada di sini untuk beberapa waktu”. “Apa? Ayah mengijinkan aku?”. “Sebenarnya kau tidak perlu menemuiku di sini”. “Akulah yang semestinya menemuimu”. Sang kaisar berkata-kata tanpa membalikkan badan.
Aku masih belum melihat wajah Sang Kaisar itu. Ia tetap saja membelakangiku ketika berbicara. Hal apa yang disembunyikan olehnya. Aku paham keberadaanku ditempat ini dengan dimensi perputaran waktu yang tak sama dengan dunia realis. Pergantian detik ke menit sampai ke jam berikutnya terasa lebih cepat. Aku tidak menduga keberadaanku sudah agak lama dari yang biasa aku lakukan.
Aroma yang menembus paru-paruku mengembang mengempis menikmati teduhnya udara di bawah pohon sakura. Akan lebih indah jika berada di musim mekar. “Sang Kaisar memanggilmu”, sesaat setelah prajurit menghampiriku, kita menuju ruang Sang Kaisar.
“Ayahmu menginginkan aku menikah denganmu”. “Apa!”, suaraku menaik mendengar perkataannya. “Siapa kau sebenarnya?”, kesalku meninggi. “Siapa kau!”. “Kau lupa, kita pernah bertemu di suatu tempat, yang kau tentu ingat aku katakan padamu bahwa tidak lama dari acara itu kita akan berjumpa lagi”. “Hah!, jadi itu kau yang berbusana ninja”. “Jadi kau rupanya menyamar”.  “Kau memata-matai aku rupanya”. “Apa benar yang selama ini kaulah yang menjadi tamu istimewa di rumahku?”. Sang Kaisar membiarkan aku menumpangkan semua pertanyaan. Sang kaisar menghampiriku. Ia sergap kebingunganku dengan mata panah sorotannya. “Aku sengaja melakukan semua yang kau tanyakan itu. Kau adalah permata yang selama ini ku cari. Sejak penjelajahan yang aku lakukan selama bertahun-tahun ku temuka sebuah petunjuk sang Dewa yang memberikan sebuah permata. Aku tak mengerti wujud sebuah permata itu. Apakah sebuah permata sungguhan atau justru Sang Dewa mengkiaskan kau dengan sebuah permata”. “Kau tidak perlu menyesali, Kimiko atas yang telah kau ketahui ini. Ayahmu sebelum aku lahir sudah menghendaki dalam doa-doa  yang diperkenankan sang Dewa. Kelak kaulah manusia permata yang setelah orang-orang mengetahui bahwa kaulah permata itu, Sang Dewa mengasingkan kau di tempat ini”. “Sampai kapan aku berada di sini?”. “Setelah percakapan ini berakhir kau akan kembali ke tempat semula”. Dan ohayo..ohayo..ohayo tidak bisa kau rapalkan lagi sebagaimana dahulu. Aku yang akan mendampingi hari-harimu.
***
Aku anak baru di sekolah ini”. “Namaku Kaisar”. “Kau..Kau benar-benar mengintaiku terus”. “Tak perlu sekuatir itu Kimiko”. “Akulah sang Kaisarmu yang selalu menghalau orang-orang yang berbuat jahat padamu. “Aku tak bisa jika mesti selalu kau buntuti ke manapun aku berada”. “Siapa pula yang terus mengikutimu?”. “Lantas?”, tanyaku penasaran. “Aku cukup menyebar semua prajuritku ke manapun kau berada”. “Tak seperti yang kau bayangkan, Kimiko”. Dan dengan begitu aku tidak perlu bersembunyi-sembunyi lagi bertandang ke rumah kau. Kau bisa leluasa melihat kapan aku datang dan pergi dari rumah kau.
Kaisar yang juga sang Kaisar samurai berbadan tegak, semestinya aku bisa menerima ia. Perlahan aku mulai menanggalkan ego-ego yang menolak kenyataan bahwa sejak aku belum lahir pun ayahku sudah mengajukan keinginan yang saat ini aku hadapi.
Kaisar, dengan begitu kau tetap lelaki yang tidak bisa ku kira-kira berapa usia kau sebenarnya? Pantas saja sejak kau injakkan kaki di sekolah, aku merasa kau adalah idola baru para siswa perempuan yang bermata biru. Aku bermata coklat. Mengapa kau lebih menyukai perempuan dengan bola mata coklat. Tentu ada alasan yang menyertai kesukaanku padamu.
Aku tidak setinggi dan seseksi para siswa perempuan yang bermata biru.  Namun mengapa kau tanggalkan selera kau demi memperjuangkan aku. Sekali ku pandangi wajahmu, ketenangan langsung meluntuhkan kerisauanku.
Mungkin persisnya sama yang terjadi pada diriku ini dengan kisah Death Note berkisah tentang seorang pemuda jenius bernama Yagami Raito [Tetsuya Fujiwara] yang menemukan sebuah buku kematian/death note yang secara tidak sengaja jatuh ke dunia manusia. Nama orang yang ditulis di Death Note itu akan mati, karena buku tersebut punya kekuatan membunuh. Raito kemudian memutuskan untuk menciptakan Utopia / Negeri Impian dengan cara menghabisi para kriminal di dunia menggunakan Death Note tersebut. Namun aku menghindari untuk mendramatisir yang sedang aku lalui ini tanpa kematian sedikit pun.
***
“Kimiko, apakah kau telah membaca semua jalan hidupku. Melalui perjalanan waktu yang selama ini kita lalui bersama. Melalui cahaya yang menerobos ruang pikiranku”, di suatu pergantian waktu aku dengannya. Aku menyambut pertanyaannya dengan diam. Ia berujar lagi “bagi seorang samurai kematian itu adalah jalan mulia”. “Aku telah membaca melalui teks yang buku Hagakure: “Kita semua mau hidup. Dalam kebanyakan perkara kita melakukan sesuatu berdasarkan apa yang kita suka. Tetapi sekiranya tidak mencapai tujuan kita dan terus untuk hidup adalah sesuatu tindakan yang pengecut. Tiada keperluan untuk malu dalam soal ini. Ini adalah Jalan Samurai (Bushido). Jika sudah ditetapkan jantung seseorang untuk setiap pagi dan malam, seseorang itu akan dapat hidup walaupun jasadnya sudah mati, dia telah mendapat kebebasan dalam Jalan tersebut. Keseluruhan hidupnya tidak akan dipersalahkan dan dia akan mencapai apa yang diinginkannya”. Tambahku “Aku mengerti jalan hidup seorang samurai. Dan aku juga tak menyesali jika jalan itu terjadi pada salah satu diantara kita”.

[1] Kuil Shinto
[2] Ritual yang dilakukan pada saat anak berumur 3, 5, 7 tahun
[3] Maaf terlambat
[4] Tidak apa-apa
[5] Aku juga baru datang
[6] Festival kebudayaan Jepang.
[7] Iya
[8] Hmmm..maaf
[9] Kamu Kimiko
[10] Iya benar
[11] SMA
[12] Taman kanak-kanak
[13] Sekolah dasar

No comments: