Ohayo…Ohayo
Cerpen Bagus Setyoko
Purwo
Ohayo..ohayo,
telah menjelma menjadi dirinya. Ohayo..ohayo, telah mewujudkan semua hal yang
terlintas di benaknya. Ohayo..ohayo, sejak saat itu Kimiko tak sepatah ucapan
yang keluar selain ohayo..ohayo, kala ia duka dan lara.
Ayah sering
menyebut-nyebut namaku dalam doa yang beliau panjatkan di jinja[1].
Namaku beliau ulangi hingga tiga kali dan pada ucapan beliau yang
terakhirlah jiwaku berguncang, tubuhku seakan ringan dan seketika aku
guncang-guncangkan ke tanah – melampaui dari yang ayah panjatkan kepada Sang
Dewa.
***
Kelahiranku
pada suatu pekat yang tak sedikit pun suara menggema, ayah masih tetap duduk
menyilahkan kedua kakinya dengan kedua tangan yang terletak di permukaan lutut.
Kedua mata ayah terpejam. Sunyi. Ayah memiliki tradisi yang berbeda dari
orang-orang Jepang kala itu. Menurut beliau, ayah inginkan suatu ketika aku
terlahir sebagai titisan dewa, manusia yang bila dewasa nanti tidak menimbulkan
kesialan-kesialan personal atau interpersonal.
Saat
kelahiranku memecah kesunyian ayah masih berada di jinja. Tidak seorang pun yang mampu menemukan beliau pada saat itu.
Dibawanya aku menuju jinja untuk
mengikuti ritual upacara
Omiya-mairi. Ayah memang patuh
mengikuti serangkaian ritual khusus untukku. Pada saat aku berumur tiga tahun,
dan meningkat berumur lima tahun sampai pada usia tujuh tahun, ayah tak pernah
tidak menyertakan aku pada ritual Shichigosan[2]
yang dilakukan di jinja. Sampai kini
aku tak mengerti maksud apa ayah memperlakukan aku dengan ritual-ritual itu?
***
“Jangan kau ganggu
ayahmu”, cegah ibu sebelum aku mengampiri beliau. “Ayahmu sedang kedatangan
tamu”, tambahnya. “Mana tamunya bu?”, liriku penasaran. Nanti kau juga akan
tahun. Tamu serupa apa yang bertandang ke rumah kami. Kata ibu tamu istimewa.
Kalau tamu istimewa mengapa tidak ada kendaraan yang parkir di muka halaman. Mengapa
juga rumahku tidak seramai rumah yang kedatangan tamu.
“Kimiko tunggu”, suara
yang menyusup dari belakang pundakku. Okurete, sumimasen[3]
Aku pandangi ia dengan wajah lelah sambil mengatur nafasnya. Ia membukukkan badan berulang-ulang “Iie,
daijoobu desu[4]”,
balasku ringan. “Watashi mo kita bakari desu
[5]”,
aku membuka pembicaraan dengannya. “Ini ada
undangan untuk kau”, sodornya padaku. “Jadi kau mau ikut perayaan bunkasai[6]”.
“Tapi aku kan masih sekolah, apa boleh aku datang?” “Tidak ada batasan usia,
Kimiko. Kau pasti terhibur”, katanya menyakinkan aku. “Ee[7]”
jawabku. “Arigatoo”, senyumnya.
Diperempatan jalan Kyoto, tikungan jalan kecil yang tidak
dilalui kendaraan bermotor kami berjalan menuju perayaan bunkasai. Sepanjang jalan Kyoto memang terbebas dari lalu lalang
kendaraan bermotor, tapi uniknya tidak ada satu pun para pejalan yang menerobos
lampu merah yang menghentikan langkah-langkah para pejalan. Walaupun mereka
tahu bahwa jalanan aman dari deruan kendaraan bermotor, tetap mereka patuh
terhadap rambu-rambu yang ada. Kesadaran itulah yang membuat peraturan terjaga.
Aku sedang berada di jantungnya Jepang. Kota Tokyo yang
menyenangkan dengan taburan pesona yang menawan. Para muda mudi yang berbusana
modern hendak meramaikan perayaan budaya. Gadis-gadis yang mengenakan minisuka (rok pendek) sebentar-sebentar
menghalau angin yang berhembus kencang dengan kedua tangan mereka karena minisuka
yang mereka kenakan terlalu pendek. Wajah-wajah mereka selintas
bingung mengatasi agar jangan sampai terbuka di bagian tertentu. Di daerah
Niigata busana itu memang sedang trend.
Harajuku yang aku kenakan sesuai
perkembangan mode. Aku paham mana busana yang tepat dan busana yang tidak
sepatutnya dikenakan pada moment-moment tertentu. Motif rambut yang tertata pun
aku sesuaikan dengan paduan dominasi biru harajuku.
Lain hal dengan Kiyori yang lebih sensasional menampakkan keseksian tubuhnya
dengan mengenakan style gyaru. Kami
sama-sama nyaman memilih busana sesuai kepribadian masing-masing.
Di tengah-tengah arus keramaian para pengunjung aku
kehilangan Kiyori. Kiyori memisahkan diri tanpa sepengetahuanku. “Apa mungkin
ia sedang bersama teman-temanya ya?”, batinku berucap. “Ah pasti ia akan
mencariku nanti”. “Anoo... sumimasen[8]”, sapa pelan
pria berpakaian ala Ninja. “Kimiko, chan desu
ka[9]”,
tanyanya. “Hai, soo desu[10]”,
balasku menegakkan badan. Masih belum jelas siapakah pria itu. Aku tatap ia
lekat-lekat. “Kau siapa?”. “Apa kita sebelumnya pernah berjumpa?”. “Aku sama
sekali tidak mengenal kau”. “Kimiko ke sini”, teriak Kiyori melambai-lambaikan
tangan kanannya. “Tak lama setelah ini kita akan berjumpa lagi, Kimiko”, kata
pria berpakaian ninja itu.
“Kau ini, hati-hati bila
bertutur sapa dengan pria. Kau tak takut jika ia hendak berbuat jahat padamu”. Tidak
aku hiraukan ucapan Kiyori yang merocos. Siapakah
pria itu sebenarnya.
***
Aku duduk di kelas koutou-gakkou[11].
Terdaftar
sebagai siswa yang penuh sensasi yang memukau. Dalam hal perkembangan belajar,
sejak aku berdiri di youchien[12]
jiwa sosialku tumbuh tidak
sebagaimana mayoritas anak-anak saat itu. Kebiasan-kebiasanku bahkan setara
dengan kedisiplinan yang orang-orang dewasa terapkan. Tidak lagi menjadi
kesulitan ibu untuk membiasakan aku hidup teratur bagi anak seusiaku yang
terbilang nakal. Memasuki masa sekolah Shougakkou[13],
selama enam tahun dengan tingkat kedisiplinan yang lebih tinggi aku dipacu
untuk menguasai mata pelajaran-pelajaran yang berlaku sesuai kurikulum Jepang. Seperti
Bahasa Jepang (kokugo), aritmatika (sansuu),
IPA atau science (rika), kebiasaan
hidup (seikatsu), musik (ongaku), menggambar dan kerajinan (zuga kousaku), perekonomian keluarga (katei), pendidikan fisik (taiiku), pendidikan moral (doutoku), studi lingkungan hidup,
aktivitas khusus, dan studi terapan. Kesemuanya itu nyatanya semakin
mempermudah aku menjangkau minatku yang dahulu selalu terbayang-bayang. Aku
memang gemar mengkhayal.
Ohayo..ohayo..ohayo, telapak tanganku mengenai ujung
alis dan tanpa memakan waktu lama aku sudah berada di Istana Hiroshima. Sebuah
bangunan bersejarah di kota Hiroshima yang dibangun pada masa kekuasaan Mori
Terumoto. Aku berjalan menyusuri aliran parit istana yang konon berasal dari
sungai Hongawa. Penjelajahan yang kesekian ini aku lakukan setiap pulang sekolah.
Aku menyukai dunia ini. Menjelajahi dunia hanya dengan melipat waktu. Seperti
aku menyelesaikan origami – melipat
kertas berwarna warni. Bedanya yang aku lipat adalah dimensi waktu. Aku tak
perlu waktu lama untuk setiap kali kunjungan di setiap tempat. Dan tak lama
pula aku kembali ke tempat semula.
Ohayo…ohayo…ohayo, telapak tangaku kembali mengenai ujung alis dan aku tiba
di tempat awal.
Awalnya aku tidak mengerti mengapa kata-kata ohayo..ohayo…ohayo yang bahkan menjadi
celotehanku masa kecil menjadi semacam mantra magis saat aku beranjak dewasa. Inikah
yang ayah katakan bahwa suatu ketika nanti aku akan dapat mudah menjelajahi
dunia tanpa perlu bersusah-susah payah.
Ayah mengerti hal-hal supranatural. Ayah terlibat aktif
dalam dimensi itu. Ayah juga selalu ku ketahui sedang melakukan upaya-upaya
penyucian macam itu. “Tapi itu semua untuk apa ayah?” “Biarlah waktu yang
memperkenalkan kau dengan semua yang selama ini kau lihat pada diri ayah”.
***
Ohayo…ohayo…ohayo
telapak
tanganku mengenai ujung alisku, sekejap aku berada di perguruan samurai. Bangunan
klasik dengan tekstur yang beragam membuka mataku. Jadi yang selama ini aku
lihat di buku-buku pelajaran ada di hadapanku. Menggoda keinginanku untuk bisa
berlama-lama di tempat ini. “Awas”. Sebilah samurai hampir membelah leherku.
“Siapa kau?”. “Mengapa kau bisa ada di sini?”, tanya prajurit samurai yang
menyelamatkan aku tadi. “Aku Kimiko”. “Aku ingin melihat-lihat tempat ini”.
“Bolehkan?”, tanyaku dengan senyum mengembang. “Aku tak bisa memutuskan”.
“Biarlah kaisar yang memutuskan apakah kau boleh berada di sini atau tidak”,
katanya.
Di tuntulah aku
mengikuti prajurit itu. Menemui Sang Kaisar Samurai. Memasuki pintu besar yang
berlapis tiga, Sang Kaisar duduk membelakangi kehadiran kami. “Oh rupanya kau datang
juga”, ucap kaisar mengawali pembicaraan. Sedangkan sang prajurit belum sedikit
pun berucap. “Aku sudah lama menanti kehadiran kau, Kimiko”. “Ayahmu sudah
mengijinkan kau berada di sini untuk beberapa waktu”. “Apa? Ayah mengijinkan
aku?”. “Sebenarnya kau tidak perlu menemuiku di sini”. “Akulah yang semestinya
menemuimu”. Sang kaisar berkata-kata tanpa membalikkan badan.
Aku masih belum melihat
wajah Sang Kaisar itu. Ia tetap saja membelakangiku ketika berbicara. Hal apa
yang disembunyikan olehnya. Aku paham keberadaanku ditempat ini dengan dimensi
perputaran waktu yang tak sama dengan dunia realis. Pergantian detik ke menit
sampai ke jam berikutnya terasa lebih cepat. Aku tidak menduga keberadaanku
sudah agak lama dari yang biasa aku lakukan.
Aroma yang menembus
paru-paruku mengembang mengempis menikmati teduhnya udara di bawah pohon
sakura. Akan lebih indah jika berada di musim mekar. “Sang Kaisar memanggilmu”,
sesaat setelah prajurit menghampiriku, kita menuju ruang Sang Kaisar.
“Ayahmu menginginkan
aku menikah denganmu”. “Apa!”, suaraku menaik mendengar perkataannya. “Siapa
kau sebenarnya?”, kesalku meninggi. “Siapa kau!”. “Kau lupa, kita pernah
bertemu di suatu tempat, yang kau tentu ingat aku katakan padamu bahwa tidak
lama dari acara itu kita akan berjumpa lagi”. “Hah!, jadi itu kau yang
berbusana ninja”. “Jadi kau rupanya menyamar”.
“Kau memata-matai aku rupanya”. “Apa benar yang selama ini kaulah yang
menjadi tamu istimewa di rumahku?”. Sang Kaisar membiarkan aku menumpangkan
semua pertanyaan. Sang kaisar menghampiriku. Ia sergap kebingunganku dengan
mata panah sorotannya. “Aku sengaja melakukan semua yang kau tanyakan itu. Kau adalah
permata yang selama ini ku cari. Sejak penjelajahan yang aku lakukan selama
bertahun-tahun ku temuka sebuah petunjuk sang Dewa yang memberikan sebuah
permata. Aku tak mengerti wujud sebuah permata itu. Apakah sebuah permata
sungguhan atau justru Sang Dewa mengkiaskan kau dengan sebuah permata”. “Kau
tidak perlu menyesali, Kimiko atas yang telah kau ketahui ini. Ayahmu sebelum
aku lahir sudah menghendaki dalam doa-doa
yang diperkenankan sang Dewa. Kelak kaulah manusia permata yang setelah
orang-orang mengetahui bahwa kaulah permata itu, Sang Dewa mengasingkan kau di
tempat ini”. “Sampai kapan aku berada di sini?”. “Setelah percakapan ini
berakhir kau akan kembali ke tempat semula”. Dan ohayo..ohayo..ohayo tidak bisa kau rapalkan lagi sebagaimana dahulu.
Aku yang akan mendampingi hari-harimu.
***
“Aku
anak baru di sekolah ini”. “Namaku Kaisar”. “Kau..Kau benar-benar mengintaiku
terus”. “Tak perlu sekuatir itu Kimiko”. “Akulah sang Kaisarmu yang selalu
menghalau orang-orang yang berbuat jahat padamu. “Aku tak bisa jika mesti
selalu kau buntuti ke manapun aku berada”. “Siapa pula yang terus
mengikutimu?”. “Lantas?”, tanyaku penasaran. “Aku cukup menyebar semua
prajuritku ke manapun kau berada”. “Tak seperti yang kau bayangkan, Kimiko”. Dan
dengan begitu aku tidak perlu bersembunyi-sembunyi lagi bertandang ke rumah
kau. Kau bisa leluasa melihat kapan aku datang dan pergi dari rumah kau.
Kaisar yang juga sang
Kaisar samurai berbadan tegak, semestinya aku bisa menerima ia. Perlahan aku
mulai menanggalkan ego-ego yang menolak kenyataan bahwa sejak aku belum lahir
pun ayahku sudah mengajukan keinginan yang saat ini aku hadapi.
Kaisar, dengan begitu
kau tetap lelaki yang tidak bisa ku kira-kira berapa usia kau sebenarnya? Pantas
saja sejak kau injakkan kaki di sekolah, aku merasa kau adalah idola baru para
siswa perempuan yang bermata biru. Aku bermata coklat. Mengapa kau lebih
menyukai perempuan dengan bola mata coklat. Tentu ada alasan yang menyertai
kesukaanku padamu.
Aku tidak setinggi dan
seseksi para siswa perempuan yang bermata biru.
Namun mengapa kau tanggalkan selera kau demi memperjuangkan aku. Sekali
ku pandangi wajahmu, ketenangan langsung meluntuhkan kerisauanku.
Mungkin
persisnya sama yang terjadi pada diriku ini dengan kisah Death Note berkisah tentang seorang
pemuda jenius bernama Yagami Raito [Tetsuya Fujiwara] yang menemukan sebuah
buku kematian/death note yang secara tidak sengaja jatuh ke dunia manusia. Nama
orang yang ditulis di Death Note itu akan mati, karena buku tersebut punya
kekuatan membunuh. Raito kemudian memutuskan untuk menciptakan Utopia / Negeri
Impian dengan cara menghabisi para kriminal di dunia menggunakan Death Note
tersebut. Namun aku menghindari untuk mendramatisir yang sedang aku
lalui ini tanpa kematian sedikit pun.
***
“Kimiko, apakah kau telah membaca
semua jalan hidupku. Melalui perjalanan waktu yang selama ini kita lalui
bersama. Melalui cahaya yang menerobos ruang pikiranku”, di suatu pergantian
waktu aku dengannya. Aku menyambut pertanyaannya dengan diam. Ia berujar lagi
“bagi seorang samurai kematian itu adalah jalan mulia”. “Aku telah membaca
melalui teks yang buku
Hagakure: “Kita semua mau hidup. Dalam kebanyakan perkara kita melakukan
sesuatu berdasarkan apa yang kita suka. Tetapi sekiranya tidak mencapai tujuan
kita dan terus untuk hidup adalah sesuatu tindakan yang pengecut. Tiada
keperluan untuk malu dalam soal ini. Ini adalah Jalan Samurai (Bushido). Jika
sudah ditetapkan jantung seseorang untuk setiap pagi dan malam, seseorang itu
akan dapat hidup walaupun jasadnya sudah mati, dia telah mendapat kebebasan
dalam Jalan tersebut. Keseluruhan hidupnya tidak akan dipersalahkan dan dia
akan mencapai apa yang diinginkannya”. Tambahku “Aku mengerti jalan hidup
seorang samurai. Dan aku juga tak menyesali jika jalan itu terjadi pada salah
satu diantara kita”.
No comments:
Post a Comment