Perempuan Itu Bagi Saya
Cerpen Bagus Setyoko Purwo
Satu yang tidak saya suka pada
perempuan itu, knowing every particular object. Apa pun alasan perempuan itu,
saya sangat tidak suka jika ia makin menjadi-jadi. Terkecuali satu hal lain.
Pagi-pagi
yang tidak menyenangkan. Kenapa Tuhan menguji saya lagi dengan keberadaan
perempuan itu yang jelas-jelas merusak mood saya hari ini. Oke, saya tidak
mempermasalahkan bahwa ia juga mempunyai hak untuk melakukan yang ia inginkan,
termasuk menjadi pengintai dalam ruang diri saya.
Saya
kan juga gimana gitu. Ke setiap sisi kampus yang saya datangi, kenapa wajah
dirinya yang bagi saya seolah-seolah adalah cctv yang juga sebagai pengintai.
Manusia mana yang nyaman dimonitor terus. Manusia mana juga yang suka diketahui
dalam dirinya pada seseorang yang ia bukan orang teristimewa dalam hati. Dia
bukan kekasih saya, bukan juga teman terbaik saya. Kalau tidak memandang tata
krama pada sesame manusia, pastilah umpatan umpatan kasar melayang untuknya.
Saya kesal, namun masih terjaga. Saya muak, namun tak tega.
Saya
menaruh heran padanya. Alasan apa yang
menyebabkan ia sedemikian detail berusaha mengetahui saya. Padahal saya bukan
public figure, bukan juga golongan pria tampan dengan segenap potensi yang
menakjubkan. Apa jangan-jangan ia salah orang. Sebab tidak sedikit orang yang
salah menaruh prasangka pada orang yang ia tuju karena kurangnya validasi
informasi yang ia peroleh.
Tapi
apapun yang saat ini yang saya alami, saya anggap kehadiran ia sebagai proses
perjalanan kedewasaan saya menuju manusia dewasa yang sempurna. “Kalau pria tak
sanggup tahan pada sesuatu yang membuat ia kesal, sampai ia benar-benar bisa
tahan, maka pria itu telah lulus menjadi pria yang sesungguhnya,” jelas saya
waktu itu.
Kenyataannya
setelah saya berasumsi seperti itu, Tuhan sepertinya ingin menguji saya,
seberapa layakah saya membuktikan asumsi itu. Tuhan utuslah perempuan yang
tiba-tiba menjadi bagian yang tak terpisahkan dalam perputaran waktu saya.
“Gila bro, tuh cewe sampai tahu ukuran pakaian dalam gw,”cerita saya pada
teman-teman.
“Lama-lama
semua yang ada pada lo, tuh cewe paham,” tanggap teman saya lagi. Perempuan itu
menatap lekat diri saya yang tengah berada di depan kantin. Sorot dirinya sedari
tadi mengawasi saya. Duduknya juga tak juga beranjak sebelum saya beranjak dari
kantin. Apa jangan-jangan ia dari kemarin juga begitu, hanya saja saya baru
sadar bidikan darinya sekarang. Rupanya ia lebih tangguh dari seorang
paparazzi. Tapi ia salah tangkap. Saya bukan artis sebagaimana buruan paparazzi.
“Lo
tuh kok jadi cowo gak sadar kamera banget sih,”kali ini temannya si perempuan
itu mengomentari keapatisan saya.
“Lah,
emang gw siapa, tan,” balas saya pada Tania seolah saya bukan siapa-siapa.
“Lo
emang merasa kenap bukan siapa-siapa, tapi lo itu idola baginya,”tambahnya
kemudian. Jadi salah satu kemungkinan kenapa saya menjadi objek kepo dia hanya
karena saya idola dirinya.
“Gila
ah tuh cewe!”seru saya berdiri dihadapan Tania.
“Jangan-jangan
lo jadi mata-matanya juga ya,”tebak saya yang menganggetkan Tania.
“Pede
banget lo!”respon Tania.
“Masih
untung lo gw mau cerita-cerita.”
“Gw
masih punya cerita lain lagi nih,”Tania membuat saya penasaran dengan cerita
lain itu.
“Kepo
nih,”Ledeknya. Kenapa malah saya yang kebawa kepo. Tapi tak apalah saya mencari
tahu lebih dalam.
****
Di
suatu sore sehabis gerimis usai, saya buru-buru memacu laju jalan menuju
masjid. Meletakan sandal sebagaimana biasanya, lalu mengambil wudhu dalam
kondisi tenang. Saya lalui beberapa shaf samping kanan menuju pintu masuk shaf
pria. Saya tenangkan diri untuk memulai shalat sampai pada rakaat terakhir saya
sudahi. Dan beberapa saat menuntaskan wirid saya menoleh kebelakang melepaskan
pandangan dan terpaku pada sosok yang sudah tidak asing lagi saya jumpai. Tania
asyik bercakap-cakap dengan perempuan itu. Dan ketika asyiknya obrolan mereka terganggu
oleh kehadiran saya yang tertangkap oleh kedua mata perempuan itu, Tania
memanggil saya, “Tria sini sebentar donk.”
Mau
menolak bagaimana panggilan itu, jelas sekali saya dengar panggilan Tania dan
sosok perempuan itu juga tidak bisa lepas dari tatapan saya. Perempuan itu
terlihat membalas senyum saya. Padahal saya mengawali senyum untuk Tania. Saya
hampiri sebentar mereka. Dan terjadilah beberapa obrolan ringan.
Bagaimana
mulanya perempuan itu mengawali obrolan menjelang maghrib tiba, tak sedikit
senyuman yang ia sunggingkan mengarah ke saya. Saya sangat agar kesan yang
perempuan itu tangkap pada saya menjadi berbeda. Syukur-syukur bila perempuan
itu berkesimpulan bahwa saya adalah pria yang tak pandai mengelola suasana, tak
cakap mengatur kata-kata obrolan. Tepatnya saya tidak menyediakan tema obrolan
menarik di sore itu. Karena sebabnya sudah jelas dan akibatnya malah bisa
berabeh.
Akhirnya
saya menyudahi obrolan pasif bersama mereka dengan alasan: “Eh maaf ya, udah
adzan nih, gw duluan ya.” Tanpa menyertai salam saya pamit dan tidak sedikit
pun meninggalkan senyum ramah. Tapi setelah itu yang saya khawatirkan lebih
lanjut reaksi perempuan itu malah bertambah-tambah. Kalau tadi saya bersiasat
mengurangi percakapan agar kesan yang muncul dibenaknya menegatifkan saya, sebaliknya
dengan saya pamit untuk menunaikan sholat maghrib kesan yang muncul kemudian
adalah saya lelaki sholeh yang lebih mendahulukan perintah sholat disbanding
ngobrol-ngobrol dengan mereka. Makin rumit.
Kenapa
juga saya harus risau atas kesan-kesan yang berkembang dibenak perempuan itu.
Lagi pula ia bukan tipe saya. Saya menjaga otak agar tidak memikirkan sepak
terjang kekepoan darinya. Saya melindungi hati agar tidak menyediakan ruang
singgah untuk sosoknya yang sungguh merepotkan saya. Jalan tengahnya, ya biarin
aja deh. Toh ia punya hak yang melekat yang dengan itu ia bebas untuk
bertindak, berlaku selama sesuai dengan norma kemanusiaan.
Yang
saya ingat awal mula saya menyadari kekepoan perempuan itu, suatu ketika saya
menemukan perempuan itu di sebuah warnet. Dulu saya beberapa kali dengannya
akrab dan sering terjadi pertukaran gagasan, saling merespon atas
obrolan-obrolan ringan kami. Perempuan itu sekilas manis. Seorang teman pria
mengaggumi kealamian parasnya. “Doi itu manis, bro. kalau gw jadi lo gak bakal
gw cuekin. Gak kaya lo. Udah jelas doi ngincer lo, lo-nya malah begitu.”
Persoalannya
bukan pada manis parasnya, saya anggap jika orang sudah mulai memasuki wilayah
privasi orang lain, dan terlebih ingin menjadi bagian dari privasi orang lain
itu – yang saya anggap perempuan itu sudah sedemikian jauh memahami privasi
saya, maka kemanisan, kemolekan dirinya pudar karena sikap sifat perempuan itu
yang bagi saya sangat tidak banget klop. Kata klop itu sesuai bilamana antara
paras, sikap dan sifat jalan berbarengan.
Percakapan
serius antara saya dan perempuan itu pun terjadi. Meski saya tidak berharap
lebih setelah percakapan ini apakah si perempuan itu tetap kepo atau berjanji
untuk tidak lagi.
“Tria,
maaf ya kalau selama ini aku suka banget kepoin kamu,” kedua matanya bertemu
kedua mata saya. Saya biarkan sorotnya memahami balasanya tatapan saya.
“Kamu
tahu tidak kalau selama ini aku memendam rindu, sayang, cinta ke kamu,” dalih
perempuan itu yang membuat saya sedikit terbuai. Saya masih biarkan ia
berbicara. Selanjutnya.
“Tria,
terganggu ya dengan saya?”Tanya dengan suara yang melemah. Saya pandangi paras
manisnya. Saya lihat gerak bibirnya terhenti seperti menanti gerak lidah saya.
“Emmm..maaf
banget ya, Yu,” Perempuan itu yang bernama Ayu, serba tidak enak saya
menanggapi pertanyaannya.
“Apa
Ayu gak salah suka?”Saya balik bertanya dengan raut menawan.
“Aku
gak salah, Tria. Ak…aku suka kamu, aku sayang kamu, aku cinta kamu, aku pengen
pria yang mencintai, menyanyangi aku adalah kamu. Aku hanya meminta kamu aja,
Tria. Apa aku salah?” Ayu menunggu jawaban dariku. Aku bingung dengan
pernyataan ia. Apa ini yang dinamakan cinta gila. Cinta yang membuat orang jadi
melupakan logika. Cinta yang melalaikan nalar untuk menimbang seharusnya ada
banyak alasan rasional yang menyebabkan cinta itu bersemi tidak disembarang
hati. Semoga saya tidak salah mengucap dan yang dengan ucapan ini Ayu tidak
merasa tersakiti atau ternodai.
“Ayu
kok sebegitu yakin dengan saya, kenapa, apa gak ada pria selain saya?” Saya
jeda pernyataan sebenarnya agar ia betul-betul siap mendengarnya.
“Ayu
gak salah, Tria. Ayu gak pernah salah. Ayu bahkan sudah istikhoro. Dan dari itu
Ayu begitu yakin bahwa Trialah pria yang selama ini Ayu idamkan.” Mendengar
alasan ia kenapa selama ini mengintai saya dari berbagai penjuru terbuka. Saya
merasa berat untuk melontarkan pernyataan yang sebenarnya. Apalagi setelah ia
menjadikan petunjuk dari Tuhan sebagai landasan ia bertindak. Saya sungguh tak
kuasa. Saya melihat butir-butir yang jatuh dipipinya sesegar harapannya pada
saya.
“Ya
Tuhan, berat bagi saya untuk mengecewakannya. Dosa buat saya bila menelantarkan
cinta harapannya yang selama ini teruntuk hanya untuk saya. Ya Tuhan, semoga
dengan pernyataan ini saya tidak salah.” Akhir dari tanggapan padanya, saya
katakana,”Ayu, saya yakin kita bisa menyongsong masa depan bersama, dengan
cinta, kasih sayang, dan harapan yang sama.”
****
Kemudian
saya menyadari tiap kali wajah Ayu terbayang, bahkan tiap kali tatapan kami
bertemu, ternyata banyak cara dalam mendapatkan cinta, salah satunya adalah
dengan knowing every particular object –
yang pada waktu itu saya tidak suka. Jakarta, 18 November 2013 (2:15 AM)
No comments:
Post a Comment