Saturday, December 14, 2013

Perempuan Itu Bagi Saya

Perempuan Itu Bagi Saya
Cerpen Bagus Setyoko Purwo
Satu yang tidak saya suka pada perempuan itu, knowing every particular object. Apa pun alasan perempuan itu, saya sangat tidak suka jika ia makin menjadi-jadi. Terkecuali satu hal lain.
Pagi-pagi yang tidak menyenangkan. Kenapa Tuhan menguji saya lagi dengan keberadaan perempuan itu yang jelas-jelas merusak mood saya hari ini. Oke, saya tidak mempermasalahkan bahwa ia juga mempunyai hak untuk melakukan yang ia inginkan, termasuk menjadi pengintai dalam ruang diri saya.
Saya kan juga gimana gitu. Ke setiap sisi kampus yang saya datangi, kenapa wajah dirinya yang bagi saya seolah-seolah adalah cctv yang juga sebagai pengintai. Manusia mana yang nyaman dimonitor terus. Manusia mana juga yang suka diketahui dalam dirinya pada seseorang yang ia bukan orang teristimewa dalam hati. Dia bukan kekasih saya, bukan juga teman terbaik saya. Kalau tidak memandang tata krama pada sesame manusia, pastilah umpatan umpatan kasar melayang untuknya. Saya kesal, namun masih terjaga. Saya muak, namun tak tega.
Saya menaruh heran padanya. Alasan apa  yang menyebabkan ia sedemikian detail berusaha mengetahui saya. Padahal saya bukan public figure, bukan juga golongan pria tampan dengan segenap potensi yang menakjubkan. Apa jangan-jangan ia salah orang. Sebab tidak sedikit orang yang salah menaruh prasangka pada orang yang ia tuju karena kurangnya validasi informasi yang ia peroleh.
Tapi apapun yang saat ini yang saya alami, saya anggap kehadiran ia sebagai proses perjalanan kedewasaan saya menuju manusia dewasa yang sempurna. “Kalau pria tak sanggup tahan pada sesuatu yang membuat ia kesal, sampai ia benar-benar bisa tahan, maka pria itu telah lulus menjadi pria yang sesungguhnya,” jelas saya waktu itu.
Kenyataannya setelah saya berasumsi seperti itu, Tuhan sepertinya ingin menguji saya, seberapa layakah saya membuktikan asumsi itu. Tuhan utuslah perempuan yang tiba-tiba menjadi bagian yang tak terpisahkan dalam perputaran waktu saya. “Gila bro, tuh cewe sampai tahu ukuran pakaian dalam gw,”cerita saya pada teman-teman.
“Lama-lama semua yang ada pada lo, tuh cewe paham,” tanggap teman saya lagi. Perempuan itu menatap lekat diri saya yang tengah berada di depan kantin. Sorot dirinya sedari tadi mengawasi saya. Duduknya juga tak juga beranjak sebelum saya beranjak dari kantin. Apa jangan-jangan ia dari kemarin juga begitu, hanya saja saya baru sadar bidikan darinya sekarang. Rupanya ia lebih tangguh dari seorang paparazzi. Tapi ia salah tangkap. Saya bukan artis sebagaimana buruan paparazzi.
“Lo tuh kok jadi cowo gak sadar kamera banget sih,”kali ini temannya si perempuan itu mengomentari keapatisan saya.
“Lah, emang gw siapa, tan,” balas saya pada Tania seolah saya bukan siapa-siapa.
“Lo emang merasa kenap bukan siapa-siapa, tapi lo itu idola baginya,”tambahnya kemudian. Jadi salah satu kemungkinan kenapa saya menjadi objek kepo dia hanya karena saya idola dirinya.
“Gila ah tuh cewe!”seru saya berdiri dihadapan Tania.
“Jangan-jangan lo jadi mata-matanya juga ya,”tebak saya yang menganggetkan Tania.
“Pede banget lo!”respon Tania.
“Masih untung lo gw mau cerita-cerita.”
“Gw masih punya cerita lain lagi nih,”Tania membuat saya penasaran dengan cerita lain itu.
“Kepo nih,”Ledeknya. Kenapa malah saya yang kebawa kepo. Tapi tak apalah saya mencari tahu lebih dalam.
****
Di suatu sore sehabis gerimis usai, saya buru-buru memacu laju jalan menuju masjid. Meletakan sandal sebagaimana biasanya, lalu mengambil wudhu dalam kondisi tenang. Saya lalui beberapa shaf samping kanan menuju pintu masuk shaf pria. Saya tenangkan diri untuk memulai shalat sampai pada rakaat terakhir saya sudahi. Dan beberapa saat menuntaskan wirid saya menoleh kebelakang melepaskan pandangan dan terpaku pada sosok yang sudah tidak asing lagi saya jumpai. Tania asyik bercakap-cakap dengan perempuan itu. Dan ketika asyiknya obrolan mereka terganggu oleh kehadiran saya yang tertangkap oleh kedua mata perempuan itu, Tania memanggil saya, “Tria sini sebentar donk.”
Mau menolak bagaimana panggilan itu, jelas sekali saya dengar panggilan Tania dan sosok perempuan itu juga tidak bisa lepas dari tatapan saya. Perempuan itu terlihat membalas senyum saya. Padahal saya mengawali senyum untuk Tania. Saya hampiri sebentar mereka. Dan terjadilah beberapa obrolan ringan.
Bagaimana mulanya perempuan itu mengawali obrolan menjelang maghrib tiba, tak sedikit senyuman yang ia sunggingkan mengarah ke saya. Saya sangat agar kesan yang perempuan itu tangkap pada saya menjadi berbeda. Syukur-syukur bila perempuan itu berkesimpulan bahwa saya adalah pria yang tak pandai mengelola suasana, tak cakap mengatur kata-kata obrolan. Tepatnya saya tidak menyediakan tema obrolan menarik di sore itu. Karena sebabnya sudah jelas dan akibatnya malah bisa berabeh.
Akhirnya saya menyudahi obrolan pasif bersama mereka dengan alasan: “Eh maaf ya, udah adzan nih, gw duluan ya.” Tanpa menyertai salam saya pamit dan tidak sedikit pun meninggalkan senyum ramah. Tapi setelah itu yang saya khawatirkan lebih lanjut reaksi perempuan itu malah bertambah-tambah. Kalau tadi saya bersiasat mengurangi percakapan agar kesan yang muncul dibenaknya menegatifkan saya, sebaliknya dengan saya pamit untuk menunaikan sholat maghrib kesan yang muncul kemudian adalah saya lelaki sholeh yang lebih mendahulukan perintah sholat disbanding ngobrol-ngobrol dengan mereka. Makin rumit.
Kenapa juga saya harus risau atas kesan-kesan yang berkembang dibenak perempuan itu. Lagi pula ia bukan tipe saya. Saya menjaga otak agar tidak memikirkan sepak terjang kekepoan darinya. Saya melindungi hati agar tidak menyediakan ruang singgah untuk sosoknya yang sungguh merepotkan saya. Jalan tengahnya, ya biarin aja deh. Toh ia punya hak yang melekat yang dengan itu ia bebas untuk bertindak, berlaku selama sesuai dengan norma kemanusiaan.
Yang saya ingat awal mula saya menyadari kekepoan perempuan itu, suatu ketika saya menemukan perempuan itu di sebuah warnet. Dulu saya beberapa kali dengannya akrab dan sering terjadi pertukaran gagasan, saling merespon atas obrolan-obrolan ringan kami. Perempuan itu sekilas manis. Seorang teman pria mengaggumi kealamian parasnya. “Doi itu manis, bro. kalau gw jadi lo gak bakal gw cuekin. Gak kaya lo. Udah jelas doi ngincer lo, lo-nya malah begitu.”
Persoalannya bukan pada manis parasnya, saya anggap jika orang sudah mulai memasuki wilayah privasi orang lain, dan terlebih ingin menjadi bagian dari privasi orang lain itu – yang saya anggap perempuan itu sudah sedemikian jauh memahami privasi saya, maka kemanisan, kemolekan dirinya pudar karena sikap sifat perempuan itu yang bagi saya sangat tidak banget klop. Kata klop itu sesuai bilamana antara paras, sikap dan sifat jalan berbarengan.
Percakapan serius antara saya dan perempuan itu pun terjadi. Meski saya tidak berharap lebih setelah percakapan ini apakah si perempuan itu tetap kepo atau berjanji untuk tidak lagi.
“Tria, maaf ya kalau selama ini aku suka banget kepoin kamu,” kedua matanya bertemu kedua mata saya. Saya biarkan sorotnya memahami balasanya tatapan saya.
“Kamu tahu tidak kalau selama ini aku memendam rindu, sayang, cinta ke kamu,” dalih perempuan itu yang membuat saya sedikit terbuai. Saya masih biarkan ia berbicara. Selanjutnya.
“Tria, terganggu ya dengan saya?”Tanya dengan suara yang melemah. Saya pandangi paras manisnya. Saya lihat gerak bibirnya terhenti seperti menanti gerak lidah saya.
“Emmm..maaf banget ya, Yu,” Perempuan itu yang bernama Ayu, serba tidak enak saya menanggapi pertanyaannya.
“Apa Ayu gak salah suka?”Saya balik bertanya dengan raut menawan.
“Aku gak salah, Tria. Ak…aku suka kamu, aku sayang kamu, aku cinta kamu, aku pengen pria yang mencintai, menyanyangi aku adalah kamu. Aku hanya meminta kamu aja, Tria. Apa aku salah?” Ayu menunggu jawaban dariku. Aku bingung dengan pernyataan ia. Apa ini yang dinamakan cinta gila. Cinta yang membuat orang jadi melupakan logika. Cinta yang melalaikan nalar untuk menimbang seharusnya ada banyak alasan rasional yang menyebabkan cinta itu bersemi tidak disembarang hati. Semoga saya tidak salah mengucap dan yang dengan ucapan ini Ayu tidak merasa tersakiti atau ternodai.
“Ayu kok sebegitu yakin dengan saya, kenapa, apa gak ada pria selain saya?” Saya jeda pernyataan sebenarnya agar ia betul-betul siap mendengarnya.
“Ayu gak salah, Tria. Ayu gak pernah salah. Ayu bahkan sudah istikhoro. Dan dari itu Ayu begitu yakin bahwa Trialah pria yang selama ini Ayu idamkan.” Mendengar alasan ia kenapa selama ini mengintai saya dari berbagai penjuru terbuka. Saya merasa berat untuk melontarkan pernyataan yang sebenarnya. Apalagi setelah ia menjadikan petunjuk dari Tuhan sebagai landasan ia bertindak. Saya sungguh tak kuasa. Saya melihat butir-butir yang jatuh dipipinya sesegar harapannya pada saya.
“Ya Tuhan, berat bagi saya untuk mengecewakannya. Dosa buat saya bila menelantarkan cinta harapannya yang selama ini teruntuk hanya untuk saya. Ya Tuhan, semoga dengan pernyataan ini saya tidak salah.” Akhir dari tanggapan padanya, saya katakana,”Ayu, saya yakin kita bisa menyongsong masa depan bersama, dengan cinta, kasih sayang, dan harapan yang sama.”
****
Kemudian saya menyadari tiap kali wajah Ayu terbayang, bahkan tiap kali tatapan kami bertemu, ternyata banyak cara dalam mendapatkan cinta, salah satunya adalah dengan knowing every particular object –­ yang pada waktu itu saya tidak suka.                                                                    Jakarta, 18 November 2013 (2:15 AM)



No comments: