Bagus Setyoko Purwo
@bagusbukansetan
Adopsi Kisah
Sepanjang yang saya ketahui dalam proses kreatif penciptaan sebuah cerpen, paling tidak ada tiga landasan utama yang mesti ada pada seorang cerpenis atau yang baru akan membuat cerita.
Pertama, ide. Pembahasan ide saya rasa sudah tidak perlu diulas secara mendetail. Siapa pun kita, bahkan yang bukan penulis ketika melakukan aktivitas pastilah ada ide yang menyertai jalannya aktivitas. Tentu bagi penulis ide adalah barang mahal atau bisa aja suatu ketika ada sebuah “pasar” yang memperjual belikan ide. Sebagai wujud bahwa ide adalah komoditas langka bagi banyak orang.
Kedua, pengetahuan. Saya pernah menerima input dari Cak Nun tentang tipologi orang. Ada orang yang sedikit tahu tentang banyak hal. Ada orang yang banyak tahu tentang sedikit hal dan ada orang yang banyak tahu tentang banyak hal. Perhatikan logika ketiga pernyataan diatas itu. Pengetahuan mutlak menjadi bekal kita tidak pada hanya profesi menulis. Terlebih pada seorang penulis, pada posisi manakah yang ideal baginya.
Ketiga, kontiunitas. Berkesinambungan. Sudah bukan lagi rahasia kehidupan bahwa pada pencapaian kesuksesaan para penulis ternama letak kerja kontiu adalah kunci gerbang keberhasilan. Seingat saya mas A.S Laksana pernah menyampaikan: ‘Sisihkan lima atau sepuluh menit waktu anda; ambillah kertas dan pena, dan menulislah’. Jadi, penulis memang memerlukan waktu khusus yang tetap menulis, untuk tetap menyelesaikan naskah, dan untuk tetap teguh dalam kepenulisan dimanapun ia berada.
Saya tertarik membaca cerpen pak Edy yang berjudul Menggambar Tubuh Mama. Saya baca kata perkata. Saya cermati kausalitas kisah yang berlangsung di dalamnya. Pada setiap pergantian alenia yang tidak pernah sepi dari diksi-diksi yang menggoda. Pada setiap tutur dialog yang tak jarang membuat saya terpukau – drama heroik keluarga.
Pak Edy sedang berkisah dalam empat lembar halaman bolak balik. Cerpen yang pak Edy tuliskan sangat menarik dari segi diksi. Dari tema yang beliau angkat, yang kurang lebihnya saya menganggap cerpen itu berlatar realis. Sebuah siklus kehidupan yang entah pada peristiwa diwaktu kapan menemui kesialan hidup. Saya sebut tokoh aku yang mengalami peristiwa kekerasan dalam bentuk visual –menyaksikan ibunya “dihantam” dengan perlakuan yang tidak manusiawi. Lantas sebagai bentuk rasa rindu yang menyekap didalam diri si aku itu, ia menggoreskan beberapa kapur yang dibeli untuknya dari sang mama. Pergulatan konflik realis yang memilukan.
Ia semakin memperjelas sosok sang ibu dengan menebalkan goresan kapur pertama, yang dengan begitu ia anggap bisa mewakili sosok ibu secara nyata. Namanya juga imajinasi anak kecil. Hingga pada ending yang mendramatisir takdir dari Sang Maha Kuasa, dia inginkan mama –inginkan mama hadir kembali dalam kehidupan nyata.
Lain dari kisah itu, saya terkesan dengan cerpen terbaik pilihan Kompas tahun 1998 yang berjudul Menggambar Ayah (MA). Karya mas A.S. Laksana yang kurang lebih sama dengan sedikit plot yang pak Edy garap di cerpen Menggambar Tubuh Mama (MTA). Saya melihat ada sejenis adopsi kisah yang pada Edy gunakan (kalau saya tidak salah duga). Hanya saja pak Edy menggarap dengan cara yang berbeda. Letak detail yang pak Edy sajikan dalam cerpen itu tidak sebagaimana cerpen MA. Mungkin saja pak Edy saya mengambil beberapa keunikan dari cerpen MA.
Dalam cerpen MA –masih dalam konteks yang sama pada bagian plot cerpen MTA, si aku yang mengisahkan pilunya menjadi anak yang tidak diharapkan oleh sang ibu lahir kedunia sebagai akibat dari pergumulannya dengan “ular-ular” yang melilit dirinya. Sejak awal si aku itu sudah mendapatkan perlakuan yang sedemikian keras oleh sang ibu. Dari mulai membenamkan banyak obat sampai upaya-upaya yang bisa menggagalkan si aku lahir dengan selamat. Namun berkat dukungan teman-teman malaikat akhirnya si aku lahir dengan kondisi yang memperihatinkan.
Singkatnya si aku dalam cerpen MA berakhir serupa dengan cerpen MTA – sama sama kehilangan sosok mama, walaupun perbedaan pada tokoh mama itu cerpen MA si mama pergi meninggalkan dirinya dengan menempuh puncak gunung dan pada cerpen MTA mama mati dengan cara tragis.
Apa yang bisa didapat dari kedua cerpen itu? Saya memandang bahwa pencapaian jalan cerita sebuah cerpen yang berkesan bisa diperoleh dengan mengadopsi ide dari cerpen sebelumnya dengan menambah beberapa point yang berbeda atau mengubah selain ide cerita sebelumnya. Saya mencoba menduga bahwa pak Edy sedang “bermain-main” dalam dunia kreativitasnya yang sangat memungkinkan bagi beliau untuk menggarap ide cerpen mas A.S. Laksana dengan kepiawaian beliau memilih diksi-diksi yang memukau. Namun dengan kecermatan dan ketelitian pak Edy dalam mengumbar rangkaian diksi yang memikat itu, saya merasakan jalan cerita cerpen menggambar tubuh mama lebih mengesankan bila pak Edy lebih sangat selektif lagi memunculkan metaphor-metafor kata. Su’ul adab rasanya bila saya mengomentari karya pak Edy lebih sangat kritis lagi. Padahal saya hanya pembaca biasa yang sampai sekarang masih memegang teguh kata-kata mas A.S. Laksana, kurang lebihnya, ‘berceritalah kamu sebagaimana kamu berkata-kata (berbicara)’ .
Saya membayangkan bila pak Edy suatu waktu membacakan cerpen Menggambar Tubuh Mama di acara Kampus Fiksi regular atau roadshow, dan kemudian pak Edy juga membacakan cerpen Menggambar Ayah – manakah kesan yang mudah diserap oleh pendengar dari dua cerpen maestro cerpenis itu?
Baik Pak Edy Akhiles dan Mas A.S. Laksana adalah dua sosok yang saya kagumi dan ikuti bagaimana beliau-beliau itu menyampaikan kisah dalam tulisan yang seolah-olah sedang berkata-kata….
Salam Takzim saya
Ilahadroti Pak Edi Akhiles wa shohibul Diva Press wa Kampus Fiksi, al fatehah
Kampung Jawa, 16 Desember 2013
2 comments:
Heeee komennya lumayan mas tp sy blm pernah nih bc cerpen menggambar ayah mas sulak
Oke sy kan membacanya ntr
Asiik.. .ulasan saya dibaca pak edi
Post a Comment