Tuesday, April 22, 2014

Tak Terasa

Tak Terasa
Cerpen
Bagus Setyoko Purwo


Memilih fakultas dan jurusan itu seperti memilih ukuran pakean dalem. Mau semahal dan sebagus apapun bahan yang digunakan, nyaman dan gak nyamannya pasti keliatan tiap kali si pemakai itu bergerak. Mau serong ke kanan dan ke kiri, loncat-loncatan, lari-lari kecil, apalagi lari marathon, ohhh…sungguh merupakan derita yang memalukan. Pasti akan timbul gerakan dadakan yang membuat lo terpaksa membenahi libetan, atau apalah yang menganggu kenyaman selangkangan lo melangkah berikutnya.  Hubungannya jelas, jika lo mau nyaman kuliah maka sama halnya kaya lo memilih pakean dalem untuk aktivitas sehari-hari.
Kasarnya lihat-cermati-ukur otak dulu, tampang sih nomor kesekian. Biaya adalah hal utama yang menyebabkan lo bisa terdampar di sebuah fakultas. Halusnya untuk kedua urusan itu tergantung kenyamanan yang pengen lo dapatkan kemudian.  Sarjana dan gak sarjana urusan lo sendiri-sendiri kan! Kalo gue? Sama kaya lo semua. 
Banyak omongan yang mencetak tebal kenapa anak-anak zaman sekarang mesti punya style. Istilah Inggrisnya yang lebih kompleks adalah performace. Gak hanya berjender cewe atau cowo – kalo lo gak punya ciri khas atau istilah kerennya yang di atas itu, gue anggap lo belum ngikutin zaman. Masih kalah dengan anak-anak galauers – mereka saja dalam beberapa pose memiliki gesture yang berbeda. Gue coba tengok ke likungan akademis. Kenyataannya gak sedikit mahasiswa yang modis performacenya seperti mahasiswa dengan IP rata-rata per semester 3,50. Kebiasaan mereka tiap kuliah paling sedikit meluk dua buku tebel, malah bawa rasel untuk semua akomodasi selama di kampus, dan yang paling mencolok adalah mahasiswa yang dengan ketebalan kacamatanya itu nyatanya tidak selalu berkorelasi dengan prestasi akademis. Hal ini gue simpulkan atas temuan tiga orang kawan yang kacamatanya gak kalah tebel dengan kaca nako. Pupolasi di kelas gue bernaung 10 pria relative ganteng dan 12 wanita relative lenje.
Kawan pertama Andy Belingsut, “Bro kacamata lo kayanya tiap bulan nambah tebel. Lo kutu kupret perpus sih.”
“Gue juga bingung nih kenapa malah nambah tebel. Padahal gue udah ngurangi jatah main game online yang semula tujuh jam sehari gue kurangi setengah jam malah gak ada pengaruhnya.” Kapan ngerjain tugas dan belajarnya nih bocah.
“Ya jelaslah mau lo kurangi satu sampe tiga jam tetap aja gak berkurang. Lo ke kampus justru nambahi jam ekstra ngegame online.” Tangan gue udah biasa ngeplak otak kanan Andy Belingsut. Andy Belingsut paling tidak tahan melihat waktu kosong. Dan dengan segenap pikiran hematnya waktu senggang adalah ekstra untuk berselingkuh dengan game online. Kasian juga cewenya. Sini ama gue aja.
“Gue kan nyontoh tuh,” tangannya menyerobot kata-katanya yang terhenti, telunjuknya melurus ke sebuah ruang unit kegiatan mahasiswa akuntansi. “Liat mereka yang sangat perlu menyisihkan waktu secara ekstra demi mencintai akuntansi.” Katanya kemudian. Nyengirnya mengembang.
“Lain konteks GOBLOK!” Gue sewot membara. “Mereka itu belajar memperdalam study akuntansi, lain dengan lo!!!” Mulut gue berkoar-koar merusak ketenangan kampus.
Oke gue anggap sampel orang yang pertama cukup. Meski separuh kewarasan yang ada diotaknya.  Kita langsung ke TKP menemui Hanafi Sang Pria Sejati. Sekilas namanya sudah cukup alay. Terlebih kalo gue buka fb lalu menepi di beranda status. Udah gak jarang tuh status berbaris karya milik pujangga pinggiran yang masih aja keselip kata-kata typo.  Gue sudah cukup banyak mencela kediksian Hanafi Sang Pria Sejati yang mirisnya selalu saja bertepuk sebelah dada. Bahasanya gak lagi bertepuk sebelah tangan. Lebih dalam lagi perasaan batin yang menjalar si korban daripada bertepuk sebelah tangan. Si Hanafi Sang Pria Sejati sudah kapalan dari rasa sakit hati dalam bentuk apapun. Dia adalah korban pelecehan hati yang gue temui dengan tingkat ketebalan kacamata yang lebih sedikit dari Andy Belingsut.
Meluncurlah sebuah pertanyaan goblok gue di sela-sela pergantian mata kuliah. “Fi, apa lo gak risih pake kacamata yang nambah tebel gtu?”
Dia balik nanya cukup tajam, “Lah lo apa gak keberatan tuh kepala rambut gondrong kriwil gtu.” Anjrit nih bocah.
Hanafi meluruskan kedua kakinya yang menyila. “Sebenarnya kalo di suruh memilih gue sih milih hidup tanpa beban gini, man.” Malah mendayu-dayu ocehannya lagi,”Gue bosen man hidup dengan ujian yang bertubi-tubi.” Halah kawan gue yang satu ini. Ketebalan kacamata yang ia pikul selama ini dianggapnya sebagai beban.
“Si Ratih telah mencampaknya gue man.” Kenapa dia menggiring gue untuk menjadi pendengar curhatnya. Gue potong sebelum cerita harunya terlontar.
“Kenapa kacamata lo nambah tebel, fi?”
“Gue yakin ini semua gara-gara Julia, man.” Gak jauh beda ini mah. TERPAKSA gue ikutin alur kejolak batinnya.
“Apa hubungannya Julia dengan ketebalan kacamata lo?” Tanya gue gigit kupingnya. Makin gak nyambung aja nih bocah. Semula curhat Ratih sekarang Julia. Cepet sekali  perubahan hatinya. “Semenjak ia menyatakan penolakan cinta gue jadi menggilai kata-kata puitis man. Dia bilang karena gue gak seromantis yang ia harapkan.”
“Terus-terus, fi?” gue malah tambah penasaran mendengarkan ceritanya lagi.
“Gue lahap semua buku-buku para pujangga. Kemanapun gue melangkah selalu gue kembangkan diksi-diksi melalui apa saja yang melintas di benak gue. Bahkan gue sampai seektrem yang lo gak tahu man.” Mulutnya mepet ke telinga gue. Bodohnya gue manut aja lagi. Suttttsss…suttttsss…suttttsss
“Ah masa sampe sebegitunya lo?” Gue heboh sendiri. “Gue jadi penggila setiap kata-kata man. Gue uber tuh kata-kata meski sekecil atom sekalipun. Semua itu gue lakukan demi mendapatkan Julia. Tapi sekarang Julia berubah total man. Dia udah gak seromantis yang dulu. Emang ini bocah udah jadian apa. Dia lebih memilih Robert yang katanya gaoel dan up to date. Padahal apa coba kelebihan Robert dibanding gue.” Dalam hati gue nyeletuk lo sama Robert terbentang jarak yang jauh melebihi tingginya langit dengan dasar comberan.
Oke gue jadi paham kenapa si Hanafi Sang Pria Sejati selalu menambah ketebalan kacamatanya. Paramaternya adalah seberapa banyak dan kecilnya kata-kata yang ia baca, itupun masih melihat kadar luapan sakit hatinya.
Lain lagi dengan kawan ketiga gue, Sabdo Yang Mencintai Agamanya. Gue ceritain sedikit tentang keunikannya. Sejak semester awal ia menjebloskan diri ke dalam ruang unit kegiatan mahasiswa remaja masjid. Setiap tutur katanya lembut nan teduh. Sebentar-sebentar asma Keagungan Alloh yang terucap. Tapi malah gak wajar melihat paranoidnya ama serangga imut-imut yang membuat kaum Hawa terlonjak-lonjak. ‘Kecoa serangga bukan?’ Dan berbarengan dengan itu Sabdo nggak henti-hentinya mengucapkan asma kesucian Tuhan di kamar mandi musholla. Gue rasa Kanjeng Nabi dulu gak kaya gini-gini banget.
“Bdo, lo gak pusing apa baca kitab sedeket itu?” Sabdo masih asik dengan kekasihnya yang katanya ia lebih memilih memegang bara api daripada bersalaman dengan lain jenis. Fanatik kaum muda dalam beragama.
Gue kesel, “Heh Goblok gue tanya malah anteng aja!”
“Astgahfirlloh, istighfar antum,” Sabdo terlonjak.
“Gue nanya!!!” Seru gue berlapis.
Gue bergeser mendekati kuping caplangnya, “Tadi si Fatimah liatin lo mulu tuh.”
“Masa sih. Yang bener lo.” Sambutnya antusias.
“Peci..peci gue mana man?” rautnya tergesa-gesa. Pandanganya melesat ke luar musholla. “Bisa kacau nih kalau Fatimah gak ngeliat gue di musholla.” Parah juga nih bocah alim pemula. Bentar-bentar point of viewnya Fatimah. Masih lemah imannya.  
Sebenarnya gue agak segen nanyai tentang ketebalan kacamata pada kawan-kawan terpilih. Yang bikin gue jijik gayanya si Sabdo. gue minta untuk 15 menit ke depan lo kembali ke awal pribadi lo. Bismillah. Gue tepok jidatnya. Jurus gue berhasil.
“Apa yang menyebabkan lo cepet banget ganti kacamata?” suara gue meluncur secara formal dengan logat anak Jakarta.
“Ada dua faktor yang melandasi kenapa gue sering gonta-ganti kacamata, terutama ketebalan lensa ini,” telunjuknya menyetuh salah satu lensa kacamatanya yang ia lepas. Ini bocah cekatan juga ngimbangi gaya bicara gue.
“Lo tahu kan Fatimah berkacamata juga.” Gue mengangguk.
“Menurut praktis gue dengan cara itulah gue seenggaknya pede deketin Fatimah.”
“Emang ngaruh, bdo?”
“Tunggu tanggal mainnya,” jawabnya ngeloyor ninggalin gue. Narasumber gue yang ini memang sedikit rada ngartis. SARAP pula lagi. Kebiasaanya selalu nggantungi si lawan bicara. “Bdo, faktor yang keduanya apa?”
Gue sepakat dengan anggapan sepihak gue bahwa ketebalan kacamata gak mesti sejalan dengan pencapaian tingkat akademis yang optimal. Apalagi untuk mereka yang gemarnya baca stensilan, bukan berarti juga pengetahuan mereka canggih, kecuali untuk lintas 3gp (term teknologi visual yang sebaiknya dijauhkan dari jangkauan anak-anak dibawah umur 20 tahun – bukan tontonan).


****
Setelah Lulus
Nuansa anak baru lulus SMA masih menempel di pundak gue. Dengan sangat berbangga gue, mereka yang segolongan dengan gue akan mudah mengenal nama gue walau gue gak mengenalkan diri sebelumnya. Itu karena huruf bercetak latin di atas saku kanan seragam putih abu-abu tertera nama gue SATRIO PF. Gue pernah protes waktu menerima embleman bordir nama itu di koperasi, tiga tahun silam. “Bu, kok nama saya malah SATRIO BF?!” Wajar kalau gue kebawa emosi. Dua abjad terakhir itu mengkonotasikan negative ke gue.
Sekarang gue bukan anak putih abu-abu lagi dan gak lagi nyanyi cintaku bersemi di putih abu-abu. Bentar lagi gue bakal bebas pake celana jin. Baju jin. Kemana-mana jin. Lama-lama gue jadi penggemar jin. Jadi jin deh.
Tidak untuk main-main. Sekali tidak ‘katakan untuk TIDAK! Itu mah semangat lumrah di masa-masa awal kuliah. Gue pengen membantu pemerintah untuk mengentaskan kemiskinan, kemelaratan ampe tujuh turunan terakhir, kesengsaraan dan gue juga akan menaru peduli pada kaum  galauers bagaimana menyikapi siklus hidup yang kejam ini.
SELAMAT DATANG DI FAKULTAS EKONOMI KAMPUS BIRU.
Oh begini ya tampangnya anak-anak ekonomi. Muka-muka dan gaya-gaya mereka modis, tapi perhitungannya ampun-ampun deh. Hitung-hitungan sih boleh aja, tapi gak sewajarnya juga amal minta kembalian. Ngasih Rp.10.000, kembalian Rp.9.000. Mentang-mentang tag linenya ‘Kembali Kasih.’
Ada lagi yang bikin perasaan heran gue meluap-luap. Kenapa setiap ada pengeluaran perlu di catat dan pemasukan di catat. Perhitungan banget sih. Setidaknya gue menangkap basah salah seorang kakak senior yang beralmamater biru (namanya juga kampus biru, kalo ijo-ijo jadi kolor ijo donk) sedang mencatat setiap pengeluaran dan gue memang belum tahu apa-apa seputar catat mencatat.
“Kak, emang perlu dicatat ya?” Meski pertanyaan bodoh gue tetap harus bertanya. “Iya donk dik,” jawab kakak itu tanpa menoleh ke gue.
“Buat apa sih kak?”
“Buat dicatat donk dik.”
“Emang kenapa kak?
“Mau tau aja atau mau tau banget?”
“Dua-duanya kak.”
“Woy, singkirkan ini bocah jauh-jauh dari gue!!!” Suara kakak menghamburkan kakak-kakak yang lain yang sedang ngopi-ngopi, ngteh-ngteh  dan sebagian photo-photo pose alay.
Gue gak ngerti kenapa sejurus kemudian gue dievakuasi secara paksa. Oke, hal itu  adalah catatan awal gue kenapa selalu ada pencatatan di setiap pengeluaran dan pemasukan. Gue akan segera tahu jelasnya alasan kakak itu catat mencatat.
Peristiwa lain gue temui di malam inagurasi. Denger-denger sih malam pementasan gila-gilaan. ORANG-ORANG ‘GILA’ unjuk GIGI GTU? Gak peduli mau malam gila-gilaan atau kesurupan setan gila, terus kuliah bareng orang yang rada gila ampe yang gila akut, bagi gue kuliah di kampus Biru ada motif yang menyertai langkah-langkah gue ke depan. Tentunya gue sangat pandai menutupi dari jangkauan otak-otak cerdik bonyok gue. Bonyok gue lebih cerdik dari seekor kancil yang mencuri di ladang pak Mahmod.
Di mana-mana mahasiswa yang ngambil fakultas Ekonomi untuk jadi seorang ekonom, akuntan, manajer, atau pengganti presiden periode berikutnya, lah ini gue justru terobsesi menjadi traveling backpacker. Gak ada nyambung-nyambungnya pisan. Nanti gue nyambung-nyambungin sendiri deh. Gak tahu itu obsesi tiba-tiba aja ngotot ngedahului cita-cita semula gue yang pengen banget jadi ustadz komedi.  Jama’ah oh jama’ah…Alhamdulillah. Apakah ini merupakan prestasi awal gue atau bukan, banyak kakak-kakak kelas yang sok akrab ke gue. Mulai dari yang mulanya curi-curi pandang, senggol-senggolan, cubit-cubitan, tampar-tamparan, dan untuk yang satu ini gak ada dari mereka kakak-kakak kelas yang cewe cium-ciuman ama gue. BISA MAMPUS DI TEMPAT GUE. Wajar aja sih gue manggil mereka kakak. Yang gak wajar tuh gue panggil mereka eh njing. Di tampol langsung.
Rasa-rasanya baru kemarin gue naik kelas satu, eh sekarang udah melesat aja ke semester satu di  dunia perkampusan. Dunia yang sama sekali jauh dari 180 derajat celcius dari kehidupan gue semasa sekolah dulu. Ngawur itu asoy cuy. Semasa gue belajar bandel-bandelnya jadi anak badung. Eh sama aja ye. Terus, sesuatu yang gak gue engehin ketika telek-teleknya gue di sindir berbagai teori-teori perkuliahan adalah tidak ada manusia yang bisa bertahan dengan khayalannya semata, apalagi sukses karena menghidupkan khayalannya itu dalam tempurung otaknya. Dan rasa-rasanya laju perubahan gue saat ini seperti mengejar SKS - yang semakin ke sana memerlukan daya juang yang tangkas. 
Teori berikutnya adalah draft SKS yang akan gue ambil - cie...cie...Naik semester dua nih.

 Bekasi, 23 April 2014






No comments: