Tak Terasa
Cerpen
Bagus Setyoko Purwo
Memilih fakultas dan
jurusan itu seperti memilih ukuran pakean dalem. Mau semahal dan sebagus apapun
bahan yang digunakan, nyaman dan gak nyamannya pasti keliatan tiap kali si
pemakai itu bergerak. Mau serong ke kanan dan ke kiri, loncat-loncatan, lari-lari
kecil, apalagi lari marathon, ohhh…sungguh merupakan derita yang memalukan.
Pasti akan timbul gerakan dadakan yang membuat lo terpaksa membenahi libetan,
atau apalah yang menganggu kenyaman selangkangan lo melangkah berikutnya. Hubungannya jelas, jika lo mau nyaman kuliah
maka sama halnya kaya lo memilih pakean dalem untuk aktivitas sehari-hari.
Kasarnya
lihat-cermati-ukur otak dulu, tampang sih nomor kesekian. Biaya adalah hal
utama yang menyebabkan lo bisa terdampar di sebuah fakultas. Halusnya untuk kedua
urusan itu tergantung kenyamanan yang pengen lo dapatkan kemudian. Sarjana dan gak sarjana urusan lo
sendiri-sendiri kan! Kalo gue? Sama kaya lo semua.
Banyak omongan yang mencetak tebal
kenapa anak-anak zaman sekarang mesti punya style.
Istilah Inggrisnya yang lebih kompleks adalah performace. Gak
hanya berjender cewe atau cowo – kalo lo gak punya ciri khas atau istilah kerennya yang di
atas itu, gue anggap lo belum ngikutin zaman. Masih kalah dengan
anak-anak galauers –
mereka saja dalam beberapa pose memiliki gesture yang berbeda. Gue
coba tengok ke likungan akademis. Kenyataannya gak sedikit mahasiswa yang modis
performacenya seperti mahasiswa
dengan IP rata-rata per semester 3,50. Kebiasaan mereka tiap kuliah paling
sedikit meluk dua buku tebel, malah bawa rasel untuk semua akomodasi selama di
kampus, dan yang paling mencolok adalah mahasiswa yang dengan ketebalan
kacamatanya itu nyatanya tidak selalu berkorelasi dengan prestasi akademis. Hal
ini gue simpulkan atas temuan tiga orang kawan yang kacamatanya gak kalah tebel
dengan kaca nako. Pupolasi di kelas gue bernaung 10 pria relative ganteng dan
12 wanita relative lenje.
Kawan pertama Andy
Belingsut, “Bro kacamata lo kayanya tiap bulan nambah tebel. Lo kutu kupret
perpus sih.”
“Gue juga bingung nih kenapa malah
nambah tebel. Padahal gue udah ngurangi jatah main game online yang semula tujuh jam sehari gue kurangi setengah jam
malah gak ada pengaruhnya.” Kapan
ngerjain tugas dan belajarnya nih bocah.
“Ya jelaslah mau lo
kurangi satu sampe tiga jam tetap aja gak berkurang. Lo ke kampus justru
nambahi jam ekstra ngegame online.”
Tangan gue udah biasa ngeplak otak kanan Andy Belingsut. Andy Belingsut paling
tidak tahan melihat waktu kosong. Dan dengan segenap pikiran hematnya waktu
senggang adalah ekstra untuk berselingkuh dengan game online. Kasian juga cewenya. Sini ama gue aja.
“Gue kan nyontoh tuh,”
tangannya menyerobot kata-katanya yang terhenti, telunjuknya melurus ke sebuah
ruang unit kegiatan mahasiswa akuntansi. “Liat mereka yang sangat perlu
menyisihkan waktu secara ekstra demi mencintai akuntansi.” Katanya kemudian.
Nyengirnya mengembang.
“Lain konteks GOBLOK!”
Gue sewot membara. “Mereka itu belajar memperdalam study akuntansi, lain dengan lo!!!” Mulut gue berkoar-koar merusak
ketenangan kampus.
Oke gue anggap sampel
orang yang pertama cukup. Meski separuh kewarasan yang ada diotaknya. Kita langsung ke TKP menemui Hanafi Sang Pria
Sejati. Sekilas namanya sudah cukup alay. Terlebih kalo gue buka fb lalu menepi
di beranda status. Udah gak jarang tuh status berbaris karya milik pujangga
pinggiran yang masih aja keselip kata-kata typo. Gue sudah cukup banyak mencela kediksian
Hanafi Sang Pria Sejati yang mirisnya selalu saja bertepuk sebelah dada.
Bahasanya gak lagi bertepuk sebelah tangan. Lebih dalam lagi perasaan batin
yang menjalar si korban daripada bertepuk sebelah tangan. Si Hanafi Sang Pria
Sejati sudah kapalan dari rasa sakit hati dalam bentuk apapun. Dia adalah
korban pelecehan hati yang gue temui dengan tingkat ketebalan kacamata yang lebih
sedikit dari Andy Belingsut.
Meluncurlah sebuah
pertanyaan goblok gue di sela-sela pergantian mata kuliah. “Fi, apa lo gak
risih pake kacamata yang nambah tebel gtu?”
Dia balik nanya cukup tajam, “Lah lo apa
gak keberatan tuh kepala rambut gondrong kriwil gtu.” Anjrit nih bocah.
Hanafi meluruskan kedua
kakinya yang menyila. “Sebenarnya kalo di suruh memilih gue sih milih hidup
tanpa beban gini, man.” Malah mendayu-dayu ocehannya lagi,”Gue bosen man hidup
dengan ujian yang bertubi-tubi.” Halah
kawan gue yang satu ini. Ketebalan kacamata yang ia pikul selama ini
dianggapnya sebagai beban.
“Si Ratih telah mencampaknya gue man.” Kenapa dia menggiring gue untuk menjadi
pendengar curhatnya. Gue potong sebelum cerita harunya terlontar.
“Kenapa kacamata lo nambah tebel, fi?”
“Gue yakin ini semua gara-gara Julia,
man.” Gak jauh beda ini mah. TERPAKSA gue
ikutin alur kejolak batinnya.
“Apa hubungannya Julia dengan ketebalan
kacamata lo?” Tanya gue gigit kupingnya. Makin
gak nyambung aja nih bocah. Semula curhat Ratih sekarang Julia. Cepet sekali perubahan
hatinya. “Semenjak ia menyatakan penolakan cinta gue jadi menggilai
kata-kata puitis man. Dia bilang karena gue gak seromantis yang ia harapkan.”
“Terus-terus, fi?” gue malah tambah
penasaran mendengarkan ceritanya lagi.
“Gue lahap semua buku-buku para
pujangga. Kemanapun gue melangkah selalu gue kembangkan diksi-diksi melalui apa
saja yang melintas di benak gue. Bahkan gue sampai seektrem yang lo gak tahu
man.” Mulutnya mepet ke telinga gue. Bodohnya gue manut aja lagi. Suttttsss…suttttsss…suttttsss
“Ah masa sampe
sebegitunya lo?” Gue heboh sendiri. “Gue jadi penggila setiap kata-kata man.
Gue uber tuh kata-kata meski sekecil atom sekalipun. Semua itu gue lakukan demi
mendapatkan Julia. Tapi sekarang Julia berubah total man. Dia udah gak
seromantis yang dulu. Emang ini bocah
udah jadian apa. Dia lebih memilih Robert yang katanya gaoel dan up to date. Padahal apa coba kelebihan
Robert dibanding gue.” Dalam hati gue
nyeletuk lo sama Robert terbentang jarak yang jauh melebihi tingginya langit
dengan dasar comberan.
Oke gue jadi paham
kenapa si Hanafi Sang Pria Sejati selalu menambah ketebalan kacamatanya.
Paramaternya adalah seberapa banyak dan kecilnya kata-kata yang ia baca, itupun
masih melihat kadar luapan sakit hatinya.
Lain lagi dengan kawan ketiga gue, Sabdo
Yang Mencintai Agamanya. Gue ceritain sedikit tentang keunikannya. Sejak
semester awal ia menjebloskan diri ke dalam ruang unit kegiatan mahasiswa
remaja masjid. Setiap tutur katanya lembut nan teduh. Sebentar-sebentar asma
Keagungan Alloh yang terucap. Tapi malah gak wajar melihat paranoidnya ama
serangga imut-imut yang membuat kaum Hawa terlonjak-lonjak. ‘Kecoa serangga
bukan?’ Dan berbarengan dengan itu Sabdo nggak henti-hentinya mengucapkan asma
kesucian Tuhan di kamar mandi musholla. Gue rasa Kanjeng Nabi dulu gak kaya
gini-gini banget.
“Bdo, lo gak pusing apa baca kitab
sedeket itu?” Sabdo masih asik dengan kekasihnya yang katanya ia lebih memilih
memegang bara api daripada bersalaman dengan lain jenis. Fanatik kaum muda dalam beragama.
Gue kesel, “Heh Goblok gue tanya malah
anteng aja!”
“Astgahfirlloh, istighfar antum,” Sabdo
terlonjak.
“Gue nanya!!!” Seru gue berlapis.
Gue bergeser mendekati kuping
caplangnya, “Tadi si Fatimah liatin lo mulu tuh.”
“Masa sih. Yang bener lo.” Sambutnya
antusias.
“Peci..peci gue mana man?” rautnya
tergesa-gesa. Pandanganya melesat ke luar musholla. “Bisa kacau nih kalau
Fatimah gak ngeliat gue di musholla.” Parah
juga nih bocah alim pemula. Bentar-bentar point of viewnya Fatimah. Masih lemah
imannya.
Sebenarnya gue agak segen nanyai tentang
ketebalan kacamata pada kawan-kawan terpilih. Yang bikin gue jijik gayanya si
Sabdo. gue minta untuk 15 menit ke depan
lo kembali ke awal pribadi lo. Bismillah. Gue tepok jidatnya. Jurus gue
berhasil.
“Apa yang menyebabkan lo cepet banget
ganti kacamata?” suara gue meluncur secara formal dengan logat anak Jakarta.
“Ada dua faktor yang melandasi kenapa
gue sering gonta-ganti kacamata, terutama ketebalan lensa ini,” telunjuknya menyetuh
salah satu lensa kacamatanya yang ia lepas. Ini
bocah cekatan juga ngimbangi gaya bicara gue.
“Lo tahu kan Fatimah berkacamata juga.”
Gue mengangguk.
“Menurut praktis gue dengan cara itulah
gue seenggaknya pede deketin Fatimah.”
“Emang ngaruh, bdo?”
“Tunggu tanggal mainnya,” jawabnya
ngeloyor ninggalin gue. Narasumber gue yang ini memang sedikit rada ngartis.
SARAP pula lagi. Kebiasaanya selalu nggantungi si lawan bicara. “Bdo, faktor
yang keduanya apa?”
Gue sepakat dengan
anggapan sepihak gue bahwa ketebalan kacamata gak mesti sejalan dengan
pencapaian tingkat akademis yang optimal. Apalagi untuk mereka yang gemarnya
baca stensilan, bukan berarti juga pengetahuan mereka canggih, kecuali untuk
lintas 3gp (term teknologi visual yang sebaiknya dijauhkan dari jangkauan
anak-anak dibawah umur 20 tahun – bukan tontonan).
****
Setelah Lulus
Nuansa anak baru lulus
SMA masih menempel di pundak gue. Dengan sangat berbangga gue, mereka yang
segolongan dengan gue akan mudah mengenal nama gue walau gue gak mengenalkan
diri sebelumnya. Itu karena huruf
bercetak latin di atas saku kanan seragam putih abu-abu tertera nama gue SATRIO
PF. Gue pernah protes waktu menerima embleman bordir nama itu di koperasi, tiga
tahun silam. “Bu, kok nama saya malah SATRIO BF?!” Wajar kalau gue kebawa emosi. Dua abjad
terakhir itu mengkonotasikan negative ke gue.
Sekarang gue bukan anak
putih abu-abu lagi dan gak lagi nyanyi cintaku bersemi di putih abu-abu. Bentar
lagi gue bakal bebas pake celana jin. Baju jin. Kemana-mana jin. Lama-lama gue
jadi penggemar jin. Jadi jin deh.
Tidak untuk main-main. Sekali tidak
‘katakan untuk TIDAK! Itu mah semangat lumrah di masa-masa awal kuliah. Gue
pengen membantu pemerintah untuk mengentaskan kemiskinan, kemelaratan ampe
tujuh turunan terakhir, kesengsaraan dan gue juga akan menaru peduli pada
kaum galauers bagaimana menyikapi siklus
hidup yang kejam ini.
SELAMAT DATANG DI FAKULTAS EKONOMI
KAMPUS BIRU.
Oh begini ya tampangnya
anak-anak ekonomi. Muka-muka dan gaya-gaya mereka modis, tapi perhitungannya
ampun-ampun deh. Hitung-hitungan sih boleh aja, tapi gak sewajarnya juga amal
minta kembalian. Ngasih Rp.10.000, kembalian Rp.9.000. Mentang-mentang tag linenya ‘Kembali Kasih.’
Ada lagi yang bikin
perasaan heran gue meluap-luap. Kenapa setiap ada pengeluaran perlu di catat
dan pemasukan di catat.
Perhitungan banget sih. Setidaknya gue
menangkap basah salah seorang kakak senior yang beralmamater biru (namanya juga
kampus biru, kalo ijo-ijo jadi kolor ijo donk) sedang mencatat setiap
pengeluaran dan gue memang belum tahu apa-apa seputar catat mencatat.
“Kak, emang perlu dicatat ya?” Meski
pertanyaan bodoh gue tetap harus bertanya. “Iya donk dik,” jawab kakak itu
tanpa menoleh ke gue.
“Buat apa sih kak?”
“Buat dicatat donk dik.”
“Emang kenapa kak?”
“Mau tau aja atau mau tau banget?”
“Dua-duanya kak.”
“Woy, singkirkan ini bocah jauh-jauh
dari gue!!!”
Suara kakak menghamburkan kakak-kakak yang lain yang sedang ngopi-ngopi,
ngteh-ngteh dan sebagian photo-photo
pose alay.
Gue gak ngerti kenapa
sejurus kemudian gue dievakuasi secara paksa. Oke, hal itu adalah catatan awal gue kenapa selalu ada
pencatatan di setiap pengeluaran dan pemasukan. Gue akan segera tahu jelasnya alasan kakak itu catat mencatat.
Peristiwa lain gue temui di malam
inagurasi. Denger-denger sih malam pementasan gila-gilaan. ORANG-ORANG ‘GILA’
unjuk GIGI GTU? Gak peduli mau malam gila-gilaan atau kesurupan setan gila,
terus kuliah bareng orang yang rada gila ampe yang gila akut, bagi gue kuliah
di kampus Biru ada motif yang menyertai langkah-langkah gue ke depan. Tentunya
gue sangat pandai menutupi dari jangkauan otak-otak cerdik bonyok gue. Bonyok
gue lebih cerdik dari seekor kancil yang mencuri di ladang pak Mahmod.
Di mana-mana mahasiswa yang ngambil fakultas Ekonomi untuk jadi seorang ekonom,
akuntan, manajer, atau pengganti presiden periode berikutnya, lah ini gue
justru terobsesi menjadi traveling
backpacker. Gak ada nyambung-nyambungnya pisan. Nanti gue nyambung-nyambungin sendiri deh. Gak
tahu itu obsesi tiba-tiba aja ngotot ngedahului cita-cita semula gue yang
pengen banget jadi ustadz komedi. Jama’ah oh jama’ah…Alhamdulillah. Apakah
ini merupakan prestasi awal gue atau bukan, banyak kakak-kakak kelas yang sok
akrab ke gue. Mulai dari yang mulanya curi-curi pandang, senggol-senggolan,
cubit-cubitan, tampar-tamparan, dan untuk yang satu ini gak ada dari mereka
kakak-kakak kelas yang cewe cium-ciuman ama gue. BISA MAMPUS DI TEMPAT GUE.
Wajar aja sih gue manggil mereka kakak. Yang gak wajar tuh gue panggil mereka
eh njing. Di tampol langsung.
Rasa-rasanya
baru kemarin gue naik kelas satu, eh sekarang udah melesat aja ke semester satu
di dunia perkampusan. Dunia yang sama sekali jauh dari 180 derajat celcius dari kehidupan
gue semasa sekolah dulu. Ngawur itu asoy
cuy. Semasa gue belajar bandel-bandelnya jadi anak badung. Eh sama aja ye. Terus, sesuatu yang gak
gue engehin ketika telek-teleknya gue di sindir berbagai teori-teori
perkuliahan adalah tidak ada manusia yang bisa bertahan dengan khayalannya
semata, apalagi sukses karena menghidupkan khayalannya itu dalam tempurung
otaknya. Dan rasa-rasanya laju perubahan gue saat ini seperti mengejar SKS - yang semakin ke sana memerlukan daya juang yang tangkas.
Teori berikutnya adalah draft SKS yang akan gue ambil - cie...cie...Naik semester dua nih.
Bekasi, 23 April 2014
No comments:
Post a Comment