Oleh Bagus Setyoko Purwo
Kalau bukan karena terpilih sebagai pemenang pilihan juri, saya tidak akan berwisata riake pulau Karimunjawa, Jepara, Jawa Tengah. Dan setelah saya memenuhi undangan yang sepenuhnya diatur oleh provider tour, ragam destinasi yang saya nikmati menjadikan nuansa memory yang sangat mengesankan. Terlebih pada beberapa hal yang akan saya ulasan dalam beberapa lembar ini.
Prosesi jalan-jalan, pertama terjadi karena kita merasa jenuh yang disebabkan oleh tumpukkan kepenatan rutinitas. Kedua karena kita memang maniak jalan-jalan, minimal seboke-bokenyajalan ke pasar malam. Sekeren-kerennya ya backpaker yang menjadikan hamparan bumi sebagai jalan terpanjang menuju surga.
Sayabukan diantara keduanya. Tapi pada suatu moment yang saya anggap tidak sengaja,justru saya mendapatkan kesempatan halnya seorang wisatawan -masih lokal loh.
"Kenapa gue sih?" "Kok bisa gueyang kepilih?" "Apa gak salah pilih nih?" Macam-macam kalimat tanyamenyeruak bebas dikepala saya setelah suara mbak redaksi menghubungi saya. Sebelumnyaadalah konfirmasi via email yang menyatakan saya masuk dalam tiga puluh penulisbertema perjalanan. Nah berangkat dari situlah entah karena faktor-faktor pertimbanganapa yang meloloskan saya sebagai salah satu dari tiga penulis muda terpilih untukmenikmati wisata yang dipandu oleh agent traveling.Gelora hati yang terasa adalah ingin cepat-cepat tiba pada hari H keberangkatanbersama menuju pulau itu.
Maka,lintasan-lintasan imajinasi yang saling mendahului mengasyikan khayalan saya tiapkali menghitung berapa harikah lagi menuju bulan Februari 2013. Menurut keteranganmbak redaksi bila cuaca mendukung kita berangkat dari Jogja menuju Jepara malamhari, tepat hari dan tanggal yang telah diatur. Hari-hari mendekati bulan itu nuansayang melintasi di benak semakin indah.
Beradadi lintasan pertengahan Januari kekhawatiran saya akan perjalanan yang termungkinkandi cancel karena kabar di koran harian nasionalmenyatakan naiknya gelombang laut dalam beberapa hari ke depan tak juga membuatimaji saya surut. Sekali lagi, perjalanan ke Karimunjawa sungguh meruang banyakdi pikiran saya. Apalagi ini perjalanan saya kali pertama menyebrangi pulau. Kesan-kesanyang muncul sudah merajalela.
Sebuahpesan masuk dan saya baca berulang : "Hi guys, kita baru dapat kabar nih, dermagasore ini ditutup karena cuaca buruk. Selanjutnya kita kabari lagi."
Pesanitu bukan perkara mudah untuk saya sikapi. Berarti satu bulan ke depan keberangkatanitu bisa terlaksana. Itu pun juga tergantung cuaca yang memungkinkan untuk melaut.Demi suatu hasrat yang telah lama menguasai bayang-bayang khayalan, cara bijak saya tidak lain adalah bersabar.
Satupelajaran berharga meski saya belum melakukan perjalanan mendorong saya menyerahkansemua yang kan terjadi kepada Tuhan. Dalam hal itu walau saya telah memposisikandiri sebagai konseptor atas beberapa hal yang sepertinya sudah pasti akan saya perolehdiperjalanan wisata itu, posisi manusia hanya sebatas itu. Diluar kapasitas saya,Tuhanlah Sang Penentu yang hakiki.
Oke,keberangkatan aku terima kabar yang kedua setelah ternyata pada Maret yang dijadwalkankita berangkat, namun gelombang kembali lagi berulah. Perasaanku benar-benar gakkaruan. Bukan semata gagal berangkat, tapi tiket bus yang saya beli kemarin artinyahangus tanpa uang kembali. Dengan begitu kesabaran ekstra adalah penegasan sikapsaya agar jangan mendramatisir situasi yang menyebabkan munculnya pikiran untukmembatalkan keikutsertaan diri. "Tidak boleh, "lirih batin saya.
Sejalannyadengan pergantian bulan yang tidak saya nanti natikan lagi waktu keberangkatan keJogja untuk besok malamnya menempuh perjalanan ke pelabuhan Kartini, Jepara. Karenasaya tidak ingin merasakan kekecewaan yang berlapis, tibanya saya berangkat menujuJogjakarta menggunakan bus.
Mengisiwaktu selama penempuhan menuju Jogja, ruang-ruang imajinasi yang seketika aja berkembangdi otakku saling mendahului halnya kendaraan yang melaju di jalan. Saya membayangkansetibanya di Jogja akan begini begitu dan hampir tidak ada satu punya gambaran yangtidak menyenangkan mampir ke otak saya. Wah enak sekali ya. Lamunan surga saya beradadi dalam bus.
Akankahhari esok sesampainya di Jogja semua yang saya bayangkan terwujud. "Nggak adayang gak mungkin, "pikir saya saat itu. Ya namanya sedang dilanda euforia wisata.
Entahkarena mesin bus ada yang rusak atau memang bus yang saya tumpangi sudah tidak laikjalan. Di rumah makan yang jaraknya masih sangat jauh dari Jogja bus mengalami perbaikanselama beberapa menit. Perasaan saya mulai gusar mempertanyakan kapan jalannya nihbus, sampai Jogja jam berapa nih. Perbadingan otakpun juga ikut merespon keadaan;kalau begini jadinya, kenapa tadi sore gak naik kereta aja gue, huah mateng di jalannih gue.
Nada-nadagerutuan sepanjang perjalanan menuju Jogja sudah menyerupai nyanyian penyesalansaya kenapa memilih dan menyakini bus yang bisa menghantarkan saya ke Jogja. Danini bagi saya merupakan pengalaman yang menguras tenaga, memaksa diri untuk menikmatiproses yang juga berusaha menghibur diri dengan dalih bahwa setelah kesulitan adakelapangan. Setelah kesedihan, penderitaan akan ada kesenangan, kepuasan. Berlakuatau tidak dalih itu, yang jadi soal berikutnya bagi saya adalah menemukan kantorpusat tempat mbak editor menanti kedatangan saya.
Tepatpada hari itu adalah hari Jumat yang telah masuk waktu sholat jumat. "Waduh,sial lagi gue hari ini. Malah tempat yang gue tuju belum juga ketemu, badan lengketabis plus apek banget lagi, perut gue laparnya ampun ampun. Parahnya lagi gue gakbisa sholat jumat pada kondisi begini, "saya hanya bisa membatin.
Lupakansemua derita derita sementara itu. Selang beberapa jam kemudian lokasi yang sayatuju tepat berada di hadapan saya. Tuhan memang tidak akan tega melihat hamba-Nyayang dirundung kebingungan dan gak mungkin sial mulu.
Sambilmenunggu waktu malam menjelang, rebah-rebahan di kasur penginapan memacu kembaliimaji-imaji kepulauan Karimunjawa. Wah lintasan gambaran snorkling di bawah lautpasti menyenangkan. Karena selama ini anggapan saya tentang snorkling adalah samaaja diving. Sementara itu, gambaran hotel yang akan saya jadikan tempat bermalamselama tiga hari pasti ikut mendukung memanjakan raga dan tentunya bisa memulihkanjiwa atas rasa kecewa yang tidak sedikit. Makanan yang tersaji disana seperti sayasudah bisa mengecap dan mengunyahnya secara perlahan ikan-ikan laut yang segar.Apalagi setelah saya membaca schedule yang diberikan oleh agent travel. Amazing-lah.
Sebuahmobil minibus menembus pekatnya malam yang terguyur hujan. Berangkat dari Jogjapukul sepuluh malam sampai di parkiran pelabuhan sebelum subuh. Artinya saya masihbisa merasakan hembusan udara segar pinggir laut. Kini saya tidak lagi sendiri.Penegasannya kalau pun nanti saya sial lagi tidak dirasakan sendiri begitupun senang,gembira juga bersama dengan keempat teman baru saya. Saya kenal dan akrab bersamaketika turun dari minibus, dan semakin tahu satu sama lain direntang waktu menunggukapal cepat cantika ekspress melabuh.
Makanpagi bersama ala prasmanan warung nasi pelabuhan aku rasa cukup sebagai asupan energiuntuk beberapa jam ke depan. Mantab, kenyang sekalugus pada beberapa menu yang lidahkutidak asing mengecapnya. Memang menjadi pilihan yang menarik kala memasuki daerahbaru adalah mengenali tempat kuliner sementara kita. Ada pedoman nyata yang ternyatabanyak orang yang dirugikan oleh sebab tidak menanyakan berapa seporsi makan yangtelah ia santap. Bertanya harga diawal adalah lumrah saya lakukan dimana saja sayamakan.
Kenyangsudah, semua yang dirasakan perlu dipenuhi sebelum melesat bersama kapal cepat yangbeberapa saat lagi dibuka, saya rasa telah tercukupi dan keempat teman saya itujuga demikian. Sampai lupa saya menyebutkan inisial gaul mereka: ada mas Dion, cakLalu, mbak Rina, dan mbak Kim. Tiga diantara mereka adalag traveler maniak. Sedangkansaya adalah orang beruntung yang bisa melewatkan moment yang penuh kegembiraan inibersama mereka.
Kapalcepat telah melabuh, kami berada dalam antrian masuk sambil memegang karcis. Sesekalisaya bidik objek sekenanya karena posisi diri yang sedang berada dalam satu antrian.Memasuki ruang kapal yang full ac memerlukan tambahan jaket sebagai penambah rasahangat. Tidak mungkin kuat menahan dingin selama kurang lebih dua jam berada padasuhu ruangan di bawah lima derajat celcius.
Pilihankami menggunakan kapal cepat adalah untuk memangkas waktu penempuhan yang bila menggunakankapal besar penumpang memakan waktu enam jam. Mati gaya deh kalau kami menumpangkapal besar. Gaya apalagi yang muncul selama enam jam itu. Jungkir balik, salto,sampai gaya boring dengan terpaan angin laut, rasanya semua gaya akan habis saatitu.
DermagaKarimunjawa terlihat dari luar kaca kapal. Siap bergegas keluar kapal. Siap menapakankaki dikepulauan itu. Dan siap pula basah-basahan seharian penuh. Hari pertama kamilangsung snorkling. Ini pertama bagi saya dan seperti apakah snorkling itu.
Sampailahkaki kami menginjak dengan pijakan penuh rindu. Bagaimana tidak rindu, untuk bisasampai ke sini sudah dua kali gagal dari jadwal semula dan ini adalah penantiandari bulan Februari ke bulan Mei. Sungguh menyenangkan.
Sayasemula tidak pernah membayangkan menaiki mobil pick up menuju "hotel".Barangkali bayangan saya setibanya di Karimun tidak memperhatikan detail bahwa akseskendaraan roda empat ke pantai itu di batasi. Jadi mana mungkin ada minibus di situ.Pikiran saya melambung terlalu tinggi, membayangkan bisa karokean di kendaraan yangmenghubungkan ke "hotel." Yang saat itu nyata adalah saya menumpang dibelakang pick up dengan alas tikar tempat kami berlesehan. Menyenangkan juga lebihasyiknya sungguh unik. Hal itu tidak masalah bagi saya.
"Manahotelnya?"saya menyembunyikan suara ituu dari teman teman yang tidak mempersoalkanmau nginep di mana tidak jadi soal. Cuma, kenapa lagi lagi otak saya bisa membayangkanyang jauh dari realitas. Saya mengingatkan diri bahwa hidup itu terjalin baik manakalarealitas yang kita terima berjalan dengan baik. Tidak lantas saya menggerutu. Sayalebih mengkritisi diri kenapa saya jadi suka mengkhayalkan sesuatu yang sangat mungkinjauh dari realitas.
Duakamar yang kami peroleh. Homestay. Baru ini saya menginap ala homestay yang artinyasaya numpang nginep di rumah penduduk asli yang dengan begitu tata krama lokalitaswajib saya patuhi.
Haripertama membuat kami menyukai aktivitas snorkling. Meski di awal kami menyeburkandiri di laut lepas membuat kami harus dievakuasi ke atas kapal karena kepanikankami yang jauh dari kapal dan diantara kami saling bersandar. Kami teriak hebohlayaknya anak kecil yang sedang belajar berenang di tempat dalam. Maka saya katakanbahwa bayangan saya tentang snorkling dengan diving adalah sama ternyata keliru.
Sepulangnyadari aktivitas seharian kami masuk ke homestay dalam kondisi lelah namun bahagiadi hari pertama. Persoalan pertama yang ternyata perlu untuk dibayangkan namun sayatak kepikiran soal itu. Ngantri kamar mandi. Hanya tersedia dua kamar mandi, yangdengan itu kami harus tahu diri tahu waktu menggunakan kamar mandi. Terlebih dalammemahami cara penyiraman air ke dalam kloset sehabis BAB. Saya memahami bahwa setiapkamar mandi memiliki metode tersendiri untuk menyelesaikan semacam itu. Maka caratercepat saya adalah bersegera menuju kamar mandi setelah mengambil pakaian salinan.
Menyenangkanitu ternyata bersifat akumulatif. Setelah dihari ketiga kami plesiran dan banyakdestinasi yang kami nikmati menimbulkan kesan-kesan positif. Kami mengambil kesimpulanbahwa di setiap perjalanan mempunyai corak yang menarik, yang berbeda dan memangsejalan dengan itu memory yang terhimpun dalam benak kami suatu ketika nanti kerinduanuntuk mengulangi perjalana itu adalag biaya yang tidak bisa tergantikan walaupunjutaan rupiah siap untuk itu.
Bagisaya tentu ada hikmah moral yang berawal dari perjalanan bersama mereka. Pertama,khayalan atau bayangan yang menghiasi pikiran kita janganlah menjadi patokan penuhkita akan realitas yang kita terima. Kedua, kita hendaknya bisa menempatkan diripada tempat yang kita jadikan penginapan. Jelasnya homestay beda dengan hotel yangdengan itu kita gak bisa teriak teriakan sekencangnya atau loncat loncatan di kamar,gonta ganti chanel tv, karena kita masih serumah dengan pemilik. Hanya saja pemilikmemposisikan kita sebagai konsumennya. hKetiga,jauhi rasa jaim menayakan harga diawal hanya karena kita gak mau dianggap orangperhitungan apalagi pelitnya amit amit. Keempat, menerima semua bentuk akomodasiperjalanan dengan hati yang lapang, jiwa yang gembira, sesungguhnya itu adalah loncatankita berikutnya untuk bisa melakukan perjalanan yang berbeda. Dan untuk terakhirini saya mengajak agar setiap perjalanan dalam wujud apa pun hendaknya dijadikansebagai bagian dari kontemplasi hidup, bahwa sesungguhnya hidup kita ini adalahperjalanan yang belum berujung.
No comments:
Post a Comment