Monday, December 9, 2013

Ceritanya Begini

Oleh Bagus Setyoko Purwo

Siapa yang bisa menjawab bahwa lucky setiap orang tidak didasari oleh potensi yang dimilikiya?
Siapa yang bisa menunjukkan berapa banyak orang yang karena lucky-nya mereka merasakan bahwa perjuangan selama ini terasa singkat?
Siapa yang bisa menghantarkan aku untuk bisa bertemu dengan istilah yang acap dijadikan alih-alih orang - oh karena lucky-nya tuh, adakah?

Saya merasa tidak leluasa seperti kemarin-kemarin itu. Menulis dengan sangat santai, tanpa terbebani apa yang mau ditulis, lalu nyambung atau tidak kosakata yang saya gunakan itu. Apa mungkin karena saya telah banyak membaca tulisan dari berbagai pandangan. Barangkali iya, tanpa saya sadari.

Ketika saya memulai menulis dalam bentuk cerpen saat di sekolah menengah kejuruan. Saya menulis cerpen dan itu tidak sekali. Saya pedekan diri mengirim baik melalui ajang lomba atau ke media massa. Lantas apa output yang saya dapatkan? Tentu tulisan saya masih belum yang menggugah pembaca.

Tulisan yang mengguggah pembaca adalah tulisan sederhana namun bermakna luas.

Saya belum dapatkan itu. Bahkan yang saya dapatkan adalah surat respon dari media Kompas yang menyertakan cerpen yang saya kirim beberapa minggu sebelumnya. Saya kecewa dan sempat malas menulis lagi. Namun karena lamanya proses yang saya lalui, dikemudian hari saya menganggap bahwa hanya media itu yang begitu care dengan penulis macam saya -Penulis nekad yang menaruh naskahnya di meja redaksi ternama.

Sebuah proses selalu dikawal dengan ajudan yang bernama semangat.

Semangat saya karena saya inginkan hasil yang benar-benar memuaskan dan berguna.  Membaca adalah kuncinya. Saya membaca tanpa lagi memilah dari sisi kebenaran atau kebatilan. Semakin saya banyak menyerap maka semakin banyak saya menampung pengetahuan.

Pada suatu waktu yang tanpa sengaja ketika saya berada di Gramedia, ITC, Cempaka Mas, Jakarta. Saya membeli sebuah buku yang judulnya saya sudah agak lupa. Kalau tidak salah Creative Writing, karangan AS. Laksana. Pilihan saya membeli buku itu karena saya inginkan teknik terbaik dalam menulis. Saya memang berambisi menjadi penulis.

Lembaran pertama berisikan kurang lebih: kalau orang beraktivitas tergantung mood maka kehidupan yang berjalan tidak akan normal. Beliau mengatakan bahwa profesi apapun bila dilaksanakan dengan acuan mood atau tidak mood, sudah bisa dipastikan bahwa kinerja yang dihasilkan tidak berguna apa-apa.

Jadi ceritanya begini: Saya sedang berusaha mengendalikan jiwa dan raga agar tidak menaruh sinyal mood untuk seenaknya aja mengatur waktu aktivitas di hidup saya. Semoga kita juga sedang melatih itu. Selamat berproses...


Kampung Jawa, 14 Des 2013

No comments: